Kerajaan Selaparang muncul pada dua periode yakni pada abad ke-13 dan abad ke-16. Kerajaan Selaparang pertama adalah kerajaan Hindu dan kekuasaannya berakhir dengan kedatangan ekspedisi Kerajaan Majapahit pada tahun 1357. Kerajaan Selaparang kedua adalah kerajaan Islam.
Secara selintas, urutan berdirinya kerajaan-kerajaan di daerah ini bisa dirunut sebagai berikut, dengan catatan, ini bukan satu-satunya versi yang berkembang. Pada awalnya, kerajaan yang berdiri adalah Laeq. Diperkirakan, posisinya berada di kecamatan Sambalia, Lombok Timur. Dalam perkembangannya, kemudian terjadi migrasi, masyarakat Laeq berpindah dan membangun sebuah kerajaan baru, yaitu Kerajaan Pamatan, di Aikmel, desa Sembalun sekarang. Lokasi desa ini berdekatan dengan Gunung Rinjani. Suatu ketika, Gunung Rinjani meletus, menghancurkan desa dan kerajaan yang berada di sekitarnya. Para penduduk menyebar menyelamatkan diri ke wilayah aman. Perpindahan tersebut menandai berakhirnya Kerajaan Pamatan.
Disebutkan di dalam daun Lontar tersebut bahwa agama Islam salah satunya (bukan satu-satunya) pertama kali dibawa dan disebarkan oleh seorang muballigh dari kota Bagdad, Irak, bernama Syaikh Sayyid Nururrasyid Ibnu Hajar al-Haitami. Masyarakat Pulau Lombok secara turun-temurun lebih mengenal beliau dengan sebutan Ghaos Abdul Razak. Nah, beliau inilah, selain sebagai penyebar agama Islam, dipercaya juga sebagai cikal bakal Sultan-Sultan dari kerajaan-kerajaan yang ada di Pulau Lombok.[2] Namun selain beliau, Betara Tunggul Nala (disebut pula Nala Segara) diyakini pula sebagai leluhur Sultan-Sultan di Pulau Lombok.
Betara Nala memiliki seorang putra bernama Deneq Mas Putra Pengendeng Segara Katon Rambitan yang bernama asli Sayyid Abdrurrahman. Beliau ini dikenal pula dengan nama Wali Nyatok. Ia disebut sebagai pendiri Kerajaan Kayangan yang merupakan cikal bakal Kerajaan Selaparang. Namun, ketinggian ilmu tarekatnya telah mendorongnya untuk mengundurkan diri dari panggung Kerajaan Kayangan dan kemudian menetap di desa Rambitan, Lombok Tengah, sebagai penyebar agama Islam di wilayah ini.
Wali Nyatok ini di Pulau Bali terkenal dengan nama Pedanda Sakti Wawu Rauh atau Dang Hyang Dwijendra. Adapun di Sumbawa terkenal dengan nama Tuan Semeru, sedangkan di Jawa beliau bernama Aji Duta Semu atau Pangeran Sangupati. Ia dikenal sebagai penyebar agama Islam, pun dianggap sebagai seorang Waliyullah. Ia mengarang kitab Jatiswara, Prembonan, Lampanan Wayang, Tasawuf dan Fiqh. Dalam proses menyebarkan agama Islam, salah satu media yang digunakannya adalah Wayang, sebagaimana yang dilakukan pula oleh Sunan Kalijaga. Adapun bentuk mistik Islam yang dibawanya merupakan kombinasi (sinkretisme) antara mistisme Islam (Sufisme) dengan salah satu ajaran filsafat Hindu, yaitu Advaita Vedanta.
Kembali ke soal Kerajaan Selaparang dan Ghaos Abdul Razak. Tidak diketahui secara pasti kapan tepatnya beliau masuk ke Pulau Lombok. Namun pendapat terkuat menyebutkan bahwa beliau datang ke Pulau Lombok untuk pertama kalinya sekitar tahun 600-an Hijriyah atau abad ke-13 Masehi (antara tahun 1201 hingga 1300 Masehi). Ghaos Abdul Razak mendarat di Lombok bagian utara yang disebut dengan Bayan. Iapun menetap dan berdakwah di sana. Ia mengawini Denda Bulan yang melahirkan seorang putra bernama Zulkarnain (dikenal juga dengan sebutan Pangeran Abdurrahman atau Syaikh Abdurrahman). Kemudian Ghaos Abdul Razak menikah lagi dengan Denda Islamiyah. Dari pernikahan yang kedua ini lahirlah Denda Qomariah yang populer dengan sebutan Dewi Anjani.
Sumber lain menyebutkan bawah Ghaos Abdul Razak memiliki dua orang anak, yaitu Rabi’ah dan Zulkarnain (disebut pula dengan Ghaos Abdurrahman). Zulkarnain inilah yang kemudian mendirikan Kerajaan Selaparang sekaligus pula sebagai Datu (raja) pertama dengan gelar Sultan Rinjani, dan Datu Selaparang, atau sering pula digabung menjadi Sultan Rinjani Selaparang. Beliau mempunyai tiga orang anak, yakni Sayyid Umar, yang kemudian menjadi datu Kerajaan Gunung Pujut, Sayyid Amir, yang kemudian menjadi datu Kerajaan Pejanggik, dan Syarifah Qamariah alias Dewi Anjani (ada pula yang menyebut Dewi Rinjani).
Nah, sampai disini sudah terdapat dua versi, yakni antara Nala Segara (Betara Tunggul Nala) dan Ghaos Abdul Razak yang sama-sama dipercaya sebagai penyebar agama Islam, menjadi cikal bakal Sultan-Sultan Lombok dan pendiri Kerajaan Selaparang (Kayangan). Pertanyaan yang agak menggelitik kemudian adalah: Tidakkah keduanya memang orang yang sama? Tidakkah yang dimaksud sebagai Nala Segara itu sebagai Ghaos Abdul Razak, dan Wali Nyatok adalah Ghaos Abdurrahman. Hal itu masih dimungkinkan mengingat pada masa dahulu seorang tokoh seringkali menggunakan nama-nama berbeda ditempat yang berbeda.
Kejayaan Selaparang
Kerajaan Selaparang tergolong kerajaan yang tangguh, baik di darat maupun di laut. Laskar lautnya telah berhasil mengusir Belanda yang hendak memasuki wilayah tersebut sekitar tahun 1667-1668 Masehi. Namun demikian, Kerajaan Selaparang harus rnerelakan salah satu wilayahnya dikuasai Belanda, yakni Pulau Sumbawa, karena lebih dahulu direbut sebelum terjadinya peperangan laut. Di samping itu, laskar lautnya pernah pula mematahkan serangan yang dilancarkan oleh Kerajaan Gelgel (Bali) dari arah barat. Selaparang pernah dua kali terlibat dalam pertempuran sengit melawan Kerajaan Gelgel, yakni sekitar tahun 1616 dan 1624 Masehi, akan tetapi kedua-duanya dapat ditumpas habis, dan tentara Gelgel dapat ditawan dalam jumlah yang cukup besar pula.
Setelah pertempuran sengit tersebut, Kerajaan Selaparang mulai menerapkan kebijaksanaan baru untuk membangun kerajaannya dengan memperkuat sektor agraris. Maka, pusat pemerintahan kerajaan kemudian dipindahkan agak ke pedalaman, di sebuah dataran perbukitan, tepat di desa Selaparang sekarang ini. Dari wilayah kota yang baru ini, panorama Selat Alas yang indah membiru dapat dinikmati dengan latar belakang daratan Pulau Sumbawa dari ujung utara ke selatan dengan sekali sapuan pandangan. Dengan demikian, semua gerakan yang mencurigakan di tengah lautan akan segera dapat diketahui. Wilayah ibukota Kerajaan Selaparang inipun memiliki daerah bagian belakang berupa bukit-bukit persawahan yang dibangun dan ditata rapi, bertingkat-tingkat hingga ke hutan Lemor yang memiliki sumber mata air yang melimpah.
Berbagai sumber menyebutkan, bahwa setelah dipindahkan, Kerajaan Selaparang mengalami kemajuan pesat. Sebuah sumber mengungkapkan, Kerajaan Selaparang dapat mengembangkan kekuasaannya hingga ke Sumbawa Barat. Disebutkan pula bahwa seorang raja muda bernama Sri Dadelanatha, dilantik dengan gelar Dewa Meraja di Sumbawa Barat karena saat itu (1630 Masehi) daerah ini juga masih termasuk ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Selaparang. Kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya, yaitu sekitar tanggal 30 November 1648 Masehi, putera mahkota Selaparang bernama Pangeran Pemayaman dengan gelar Pemban Aji Komala, dilantik di Sumbawa menjadi Sultan Selaparang yang memerintah seluruh wilayah Pulau Lombok dan Sumbawa.
Keruntuhan Selaparang
Sekalipun Selaparang unggul melawan kekuatan tetangga, yaitu Kerajaan Gelgel, namun pada saat yang bersamaan, suatu kekuatan baru dari bagian barat telah muncul pula. Embrio kekuatan ini telah ada sejak permulaan abad ke-15 dengan datangnya para imigran petani liar dari Karang Asem (Pulau Bali) secara bergelombang, dan selanjutnya mendirikan koloni di kawasan Kota Mataram sekarang ini. Kekuatan itu kemudian secara berangsur-angsur tumbuh berkembang sehingga menjelma menjadi kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Pagutan dan Pagesangan yang berdiri sekitar tahun 1622 Masehi. Kerajaan ini berdiri lima tahun setelah serangan laut pertama Kerajaan Gelgel dari Bali Utara atau dua tahun sebelum serangan ke dua yang dapat ditumpas oleh laskar Kerajaan Selaparang.
Namun, bahaya yang dinilai menjadi ancaman utama dan akan tetap muncul secara tiba-tiba adalah kekuatan asing, yakni Belanda, yang tentunya sewaktu-waktu dapat melakukan ekspansi militer. Kekuatan dan tetangga dekat diabaikan, karena Gelgel yang demikian kuat mampu dipatahkan. Oleh sebab itu, sebelum kerajaan yang berdiri di wilayah kekuasaannya di bagian barat ini berdiri, hanya diantisipasi dengan menempatkan laskar kecil di bawah pimpinan Patinglaga Deneq Wirabangsa.
Dalam upaya menghadapi masalah yang baru tumbuh dari bagian barat itu yakni Kerajaan Gelgel, Kerajaan Mataram Karang Asem dan terutama sekali Belanda?maka secara tiba-tiba saja, salah seorang tokoh penting di lingkungan pusat kerajaan bernama Arya Banjar Getas, ditengarai berselisih paham dengan rajanya, raja Kerajaan Selaparang, soal posisi pasti perbatasan antara wilayah Kerajaan Selaparang dan Pejanggik. Pada akhirnya Arya Banjar Getas beserta para pengikutnya memutuskan untuk meninggalkan Selaparang dan bergabung dengan sebuah ekspedisi tentara Kerajaan Mataram Karang Asem (Bali) yang mana pada saat itu sudah berhasil mendarat di Lombok Barat. Kemudian atas segala taktiknya, Arya Banjar Getas menyusun rencana dengan pihak Kerajaan Mataram Karang Asem untuk bersama-sama menggempur Kerajaan Selaparang.[12] Pada akhirnya, ekspedisi militer tersebut telah berhasil menaklukkan Kerajaan Selaparang. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1672 Masehi.
Wilayah Kerajaan Selaparang
Setelah Pamatan berakhir, muncullah Kerajaan Suwung yang didirikan oleh Batara Indera. Lokasi kerajaan ini terletak di daerah Perigi saat ini. Setelah Kerajaan Suwung berakhir, barulah kemudian muncul Kerajaan Lombok. Seiring perjalanan sejarah, Kerajaan Lombok kemudian mengalami kehancuran akibat serangan tentara Majapahit pada tahun 1357. M. Raden Maspahit, penguasa Kerajaan Lombok melarikan diri ke dalam hutan. Ketika tentara Majapahit kembali ke Jawa, Raden Maspahit keluar dari hutan dan mendirikan kerajaan baru dengan nama Batu Parang. Dalam perkembangannya, kerajaan ini kemudian lebih dikenal dengan nama Selaparang.
Menurut catatan sejarah masuknya ekspedisi Majapahit tahun 1343 M, di bawah pimpinan Mpu Nala. Ekspedisi Mpu Nala ini dikirim oleh Gajah Mada sebagai bagian dari usahanya untuk mempersatukan seluruh nusantara di bawah bendera Majapahit. Pada tahun 1352 M, Gajah Mada datang ke Lombok untuk melihat sendiri perkembangan daerah taklukannya. Ekspedisi Majapahit ini meninggalkan jejak Kerajaan Gelgel di Bali.
Di Lombok, berdiri empat kerajaan utama yang saling bersaudara, yaitu:
1. Kerajaan Bayan di barat
2. Kerajaan Selaparang di Timur
3. Kerajaan Langko di tengah
4. Kerajaan Pejanggik di selatan.
Selain keempat kerajaan tersebut, terdapat beberapa kerajaan kecil, seperti Parwa dan Sokong Samarkaton serta beberapa desa kecil, seperti Pujut, Tempit, Kedaro, Batu Dendeng, Kuripan, dan Kentawang. Seluruh kerajaan dan desa ini takluk di bawah Majapahit. Ketika Majapahit runtuh, kerajaan dan desa-desa ini kemudian menjadi wilayah yang merdeka.
Di antara kerajaan dan desa-desa di atas, yang paling terkemuka dan paling terkenal adalah Kerajaan Lombok yang berpusat di Labuhan Lombok. Pusat kerajaan ini terletak di Teluk Lombok yang strategis, sangat indah dengan sumber air tawar yang banyak. Posisi strategis dan banyaknya sumbe air menyebabkannya banyak dikunjungi pedagang dari berbagai negeri, seperti Palembang,Banten, Gresik, dan Sulawesi. Berkat perdagangan yang ramai, maka Kerajaan Lombok berkembang dengan cepat.
Kerajaan Selaparang merupakan salah satu kerajaan tertua yang pernah tumbuh dan berkembang di pulau Lombok, bahkan disebut-sebut sebagai embrio yang kemudian melahirkan raja-raja Lombok masa lalu. Posisi ini selanjutnya menempatkan Kerajaan Selaparang sebagai icon penting kesejarahan pulau ini. Terbukti penamaan pulau ini juga sering disebut sebagai bumi Selaparang atau dalam istilah lokalnya sebagai Gumi Selaparang.
Berkaitan dengan Selaparang, kerajaan ini terbagi dalam dua periode: pertama, periode Hindu yang berlangsung dari abad ke-13 M, dan berakhir akibat ekspedisi Kerajaan Majapahit pada tahun 1357 M; dan kedua, periode Islam, berlangsung dari abad ke-16 M, dan berakhir pada abad ke-18 (1740 M), setelah ditaklukkan oleh pasukan gabungan Kerajaan Karang Asem, Bali dan Banjar Getas.
Raja Lombok
disebutkan bahwa pada abad XII, terdapat satu kerajaan yang dikenal dengan nama kerajaan Perigi yang dibangun oleh sekelompok transmigran dari Jawa di bawah pimpinan Prabu Inopati dan sejak waktu itu pulau Lombok dikenal dengan sebutan Pulau Perigi. Ketika kerajaan Majapahit mengirimkan ekspedisinya ke Pulau Bali pada tahun 1443 yang diteruskan ke Pulau Lombok dan Dompu pada tahun 1357 dibawah pemerintahan Mpu Nala, ekspedisi ini menaklukkan Selaparang (Perigi) dan Dompu.
Dalam Babad Lombok disebutkan, pengislaman ini merupakan upaya dari Raden Paku atau Sunan Ratu Giri dari Gersik, Surabaya yang memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan Palembang untuk menyebarkan Islam ke berbagai wilayah di Nusantara. Kemajuan Kerajaan Selaparang ini membuat kerajaan Gelgel di Bali merasa tidak senang.
Gelgel yang merasa sebagai pewaris Majapahit, melakukan serangan ke Kerajaan Selaparang pada tahun 1520, akan tetapi menemui kegagalan. Sekalipun Selaparang unggul melawan kekuatan Kerajaan Gelgel, namun pada saat yang bersamaan, suatu kekuatan baru dari arah barat telah muncul pula. Embrio kekuatan ini telah ada sejak permulaan abad ke-15 dengan datangnya para imigran petani liar dari Karang Asem (Bali) secara bergelombang, dan mendirikan koloni di kawasan Kotamadya Mataram sekarang ini.
Kekuatan itu telah menjelma sebagai sebuah kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Pagutan dan Pagesangan, yang berdiri pada tahun 1622. Namun bahaya yang dinilai menjadi ancaman utama dan akan tetap muncul secara tiba-tiba yaitu kekuatan asing, Belanda, yang sewaktu-waktu akan melakukan ekspansi. Kekuatan dari tetangga dekat diabaikan, karena Gelgel yang demikian kuat mampu dipatahkan. Sebab itu sebelum kerajaan yang berdiri di wilayah kekuasaannya di bagian barat ini berdiri, hanya diantisipasi dengan menempatkan pasukan kecil di bawah pimpinan Patinglaga Deneq Wirabangsa.
Para Prajurit Kerajaan Lombok
Di balik itu, memang ada faktor-faktor lain terutama masalah perbatasan antara Selaparang dan Pejanggik yang tidak kunjung selesai. Hal ini menyebabkan adanya saling mengharapkan peran yang lebih di antara kedua kerajaan serumpun ini. Atau saling lempar tanggung jawab. Mengambil pelajaran dari serangan yang gagal pada 1520, Gelgel dengan cerdik memaanfaatkan situasai untuk melakukan infiltrasi dengan mengirimkan rakyatnya membuka pemukiman dan persawahan di bagian selatan sisi barat Lombok yang subur. Bahkan disebutkan, Gelgel menempuh strategi baru dengan mengirim Danghiang Nirartha untuk memasukkan faham baru berupa singkretisme Hindu-Islam.
Walau tidak lama di Lombok, tetapi ajaran-ajarannya telah dapat mempengaruhi beberapa pemimpin agama Islam yang belum lama memeluk agama Islam. Namun niat Kerajaan Gelgel untuk menaklukkan Kerajaan Selaparang terhenti karena secara internal kerajaan Hindu ini juga mengalami stagnasi dan kelemahan di sana-sini. Kerajaan ini berakhir pada tahun 1740 setelah ditaklukkan oleh gabungan Kerajaan Karangasem dari Bali dan Arya Banjar Getas yang merupakan keluarga kerajaan yang berkhianat terhadap Selaparang karena permasalahan dengan raja Selaparang.
Raden Arya Banjar Getas, ditengarai berselisih pendapat dengan rajanya. Raden Arya Banjar Getas akhirnya meninggalkan Selaparang dan hijrah mengabdikan diri di Kerajaan Pejanggik.yang dulu (Kerajaan Pejanggik-red) berada di Daerah Kec. Pejanggik cukup jauh dari desa Labulia yang berada di Kecamatan JonggatAtas prakarsanya sendiri, Raden Arya Banjar Getas dapat menyeret Pejanggik bergabung dengan sebuah Ekspedisi Tentara Kerajaan Karang Asem yang sudah mendarat menyusul di Lombok Barat. Semula, informasi awal yang diperoleh, maksud kedatangan ekspedisi itu akan menyerang Kerajaan Pejanggik.Namun dalam kenyataan sejarah, ekspedisi itu telah menghancurkan Kerajaan Selaparang. Dan Kerajaan Selaparang dapat ditaklukkan hampir tanpa perlawanan, karena sudah dalam keadaan sangat lemah. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1672. Pusat kerajaan hancur; rata dengan tanah, dan raja beserta seluruh keluarganya mati terbunuh.
Selaparang jatuh hanya tiga tahun setelah menghadapi Belanda. Empat belas tahun kemudian, pada tahun 1686 Kerajaan Pejanggik dibumi hanguskan oleh Kerajaan Mataram Karang Asem. Akibat kekalahan Pejanggik, maka Kerajaan Mataram mulai berdaulat menjadi penguasa tunggal di Pulau Lombok setelah sebelumnya juga meluluh lantakkan kerajaan-kerajaan kecil lainnya. Demikianlah, Kerajaan Selaparang muncul, berkembang kemudian runtuh. Walaupun demikian, sisa-sisa peradaban tulis yang ditinggalkannya menunjukkan bahwa, kehidupan budaya di negeri ini cukup semarak dan berkembang.
Menelusuri Sisa Majapahit di Lombok
Cakranegara yang kini salah satu pusat perniagaan di Kota Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, pernah bikin cerita penting bagi Indonesia. Ekspedisi militer Belanda menggempur habis-habisan puri atau istana di Cakranegara, mengakibatkan kediaman Raja Karangasem yang penguasa wilayah Lombok, luluh lantak.
Sehari sebelum Cakranegara jatuh dalam kekuasaan Belanda, menurut telusur pustaka, pada 19 November 1894, dilaporkan sebuah temuan naskah sastra, yang ditulis di lembaran daun lontar di antara puing-puing reruntuhan itu.
Cakep (ikatan) daun til atau lontar itu adalah naskah Nagarakretagama karya Mpu Prapanca, seorang pujangga Jawa abad ke-14 M. Sewindu kemudian, naskah berbahasa Jawa Kuno diterbitkan dalam huruf Bali dan Bahasa Belanda oleh Dr JLA Brandes (1902), namun hanya sebagian. Disusul upaya penerjemahan oleh Dr JHC Kern tahun 1905-1914, dilengkapi dengan komentar-komentarnya
Baru pada tahun 1919, Dr NJ Krom menerbitkan utuh isi lontar Nagarakretagama. Krom juga melengkapinya dengan catatan historis. Naskah Nagarakretagama ini akhirnya diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Prof Dr Slametmulyana dan disertai tafsir sejarahnya. Menyusul kemudian, Dr Th Pigeud yang menerjemahkan Nagarakretagama ke dalam Bahasa Inggris.
Seperti diketahui kemudian, Nagarakretagama pernah disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden Belanda dengan nomor koleksi 5023. Pemerintah Belanda mengembalikannya ke Pemerintah Indonesia di masa pemerintahan Presiden Soeharto. Kini naskah itu menjadi koleksi unggulan Perpustakaan Nasional di Jakarta. Nagarakretagama, antara lain, berisi rekaman sejarah kejayaan Kerajaan Majapahit, perjalanan Hayam Wuruk, Raja Majapahit, serta kondisi sosial, politik, keagamaan, pemerintahan, kebudayaan, dan adat istiadat. Semua itu dikumpulkan dan digubah menjadi sebuah karya sastra oleh Mpu Prapanca, saat mengunjungi daerah-daerah kekuasaan kerajaan itu di Nusantara.
Lontar itu ada di Puri Cakranegara, Lombok, dibawa keluarga Kerajaan Kediri pada masa kekuasaan mereka di Karangasem, ujung timur Pulau Bali, sekitar akhir abad ke-17 M sampai pertengahan abad ke-18 M. Lombok sendiri merupakan wilayah kekuasaan Raja Karangasem, dan sebelumnya ada beberapa kerajaan berada di sana, seperti Kerajaan Selaparang dan Pejanggik.
Slametmulyana dalam bukunya Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya (1979), menyebutkan sedikitnya sudah ditemukan empat naskah lain yang serupa, di beberapa geriya (kediaman pendeta Hindu) di Bali. Namun, naskah-naskah itu diduga merupakan turunan naskah Nagarakretagama, yang ditemukan di Puri Cakranegara, Lombok. Isi Nagarakretagama diterapkan di Lombok demi membangun sistem pemerintahan dan sekaligus pertahanan menyerupai kerajaan Majapahit
Ini juga ditujukan demi menjadikan Lombok sebagai benteng mempertahankan ajaran Hindu di Bali, menyusul masuk dan berkembangnya ajaran Islam di Jawa, yang ditandai dengan masuknya Raja Jenggala dan kerajaannya sebagai kerajaan Islam. Raja Kediri dan Raja Jenggala adalah bersaudara, kata Anak Agung Biarsah Huruju Amla Negantun, cucu Anak Agung Anglurah Gede Karang Asem, Raja Lombok terakhir. Perbedaan agama, yang dianut masing-masing raja itu, diakui, menjadi salah satu penyebab meletusnya perang saudara di antara dua kerajaan ini.
”Dari cerita yang pernah saya dengar dari orang-orang tua, naskah ini dibawa leluhur saya dari Kediri waktu ekspedisi ke Lombok. Di dalamnya dijelaskan teknik peperangan dan teknik mengatur pemerintahan. Nagarakretagama dibawa ke Lombok untuk mengatur wilayah Lombok, dengan konsep pusat pertahanannya di Cakranegara,” tutur Agung Biarsah
0 komentar:
Post a Comment