Orang banyak membaca, nama Arya Banjar Getas itu, bersumber dari
sejumlah Babad, baik Babad tersebut berada di Gumi Sasak maupun di luar
Sasak yang Lombok. Ada pula orang membaca, Arya Banjar Getas bersumber
dari buku-buku yang ditulis, terutama sekali oleh penulis luar dan
sedikit sekali penulis dalam yang Lombok, lalu membuat interpretasi
sendiri-sendiri tentang kesaksian itu.
Namun apapun alasannya,
saya ingin mencoba mengutip beberapa sumber sebagai insprirasi,
pembelajaran, inventarisasi budaya serta pengetahuan bermakna seputar
sejarah daerah Sasak Lombok, dengan Arya Banjar Getasnya. Arya Banjar
Getas, seorang tokoh legendaris Gumi Sasak yang Lomboq (baca: lurus).
Namun sebelumnya, saya memohon izin, terutama sekali kepada para
dane-dane penglingsir lan tokoh adat Sasak magenah ring Lombok panegare.
Lebih-lebih kepada Yayasan Pendidikan Pariwisata “Pejanggiq” yang telah
mengetahui banyak tentang sejarah daerah Lombok.
Maksud saya adalah, mempublikasikan sejarah dan budaya ini, semoga bermakna bagi generasi muda Sasak khususnya. Karena tidak ada maksud dan tendesi lain, kecuali memberikan pebelajaran dan pencerahan sejarah kepada mereka.
Jika dalam penyampaian cerita ini, terdapat perbedaan, kekeliruan, baik nama tokoh, ulasan, versi serta hal-hal lain yang dinilai cukup komplek, pada kesempatan ini saya mohon maaf, karena inilah keterbatasan pengetahuan saya.
Berkaitan dengan keterbatan-keterbatas di atas, mulai edisi ini saya ingin mencoba, mengetengahkan sejarah daerah Lombok melalui Arya Banjar Getasnya. Dengan harapan, Pembaca dapat memberikan tegur sapa yang sifatnya konstruktif pada saya. Dengan senang hati saya sampaikan rasa hormat yang setinggi-tingginya. Semoga dengan hadirnya tulisan ini, akan bermakna bagi generasi muda Sasak khususnya.
Perlu dikemukakan bahwa, peninggalan sejarah di Pulau Lombok, hanya sebagian kecil yang masih tersisa. Berbagai faktor penyebab musnahnya peninggalan tersebut antara lain, bangunan bersejarah seperti istana dan lain-lain, dihancurkan para penjajah penguasa secara sengaja yakni, Karang Asem dan diteruskan oleh Belanda. Penyebab lainnya adalah, sisa-sisa bangunan yang ada, dilanda bencana alam yang dahsyat terutama sekali meletusnya gunung Rinjani di abad XVII-XIX serta peninggalan-peninggalan ditulis dalam bentuk prasasti yang terbuat dari logam maupun daun lontar, kemudian banyak diangkut oleh penguasa Belanda ke Nederland. Yang dikuasai penjajah Belanda di bumi Nusantara ini, bukan sekedar ekonomi, namun menyangkut seluruh aspek kehidupan masyarakat, mulai dari ideologi sampai ke hankam.
Selain itu, ketidakfahaman penduduk akan makna sejarah, menyebabkan benda-benda bersejarah seperti senjata (keris, pedang, tombak), takepan (babad), alat-alat rumah tangga (keramik, porselin, perunggu, kuningan) diperjualbelikan secara sembarang, lalu diangkut ke luar daerah dan luar negeri. Begitu pula, yang paling penting bahwa, terdapat unsur kesengajaan dari para penjajah bahwa, sejarah termasuk bukti sejarah daerah Lombok (orang-orang Sasak) memang sengaja dihancurleburkan, karena kalau ingin menghancurkan suatu bangsa atau kaum, hancurkanlah sejarahnya. Ini adalah motto penjajah yang diterapkan di Bumi Lombok. Keganasan dan kegamangan penguasa masa lalu, telah menghancurkan bangunan-bangunan bersejarah dari semua kerajaan-kerajaan di Lombok seperti Selaparang, Pejanggiq, Purwa, Banjar Getas dll.
Penghancuran istana serta bangunan-bangunan sekitar, selalu dengan pola pembakaran sampai habis oleh penguasa dinasti Karang Asem Bali. Begitu pula kerajaan Karang Asem Bali yang pernah berkuasa di Lombok seperti Mataram, Singasari-Cakranegara, peninggalan bangunan bersejarahnya disapu rata lagi oleh penguasa Belanda.
Untung masih ada beberapa yang tersisa, misalnya masjid Bayan, makam Selaparang. Makam Pejanggiq yang secara kebetulan dibangun rata-rata di atas bukit, sehingga tidak terkena lahar gunung meletus. Selebihnya, sisa peninggalan Singasari-Cakranegara antara lain, pura Miru Cakranegara, taman Mayura dan taman Narmada yang dibangun pada masa kekuasaan dinasti Karang Asem di Lombok yang notabene memang aman dari keganasan bencana alam, terutama letusan gunung Rinjani yang terhebat tahun 1817 (Bedah Takepan-Babad dan Buku Sasak: Mamiq Jahar). Lebih-lebih lagi peninggalan yang tersisa itu dibangun setelah letusan Rinjani tadi.
Penghancuran ini, tidak hanya di zaman kolonial Belanda. Setelah kita merdeka pun banyak mesjid tua dirubah konstruksinya bergaya moderen. Begitu pula taman-taman yang pernah ada. Seperti contoh; taman zaman dinasti Arya Banjar Getas yang terletak disebelah timur istana (sekarang pendopo Kabupaten Lombok Tengah di Praya) yang pernah dipugar Belanda, juga diludeskan menjadi bangunan sekitar tahun 1957-1958.
Sisa-sisa bangunan bersejarah dari penghancuran yang dilakukan raja-raja penguasa, bahkan diperparah dan dikubur dalam tanah dengan meletusnya gunung Rinjani berkali-kali, dimulai tahun 1786 dan tahun 1817. Bukan saja korban harta, tapi beribu-ribu korban nyawa di pulau Lombok sampai ke Sumbawa Barat dan Bali Utara (Buleleng).
Lain lagi dengan benda-benda bersejarah lainnya. Oleh para pedagang, hingga kini benda-benda purbakala tersebut diperjualbelikan, lalu jatuh ke tangan kolektor mancanegara. Sementara, untuk penyelamatannya sulit dilakukan, karena pemerintah memiliki dana dan tenaga yang amat terbatas. Untung saja masih ada Ir.H.Lalu Djelenge, punya kepedulian yang tinggi akan benda-benda bersejarah di daerah Lombok. Membeli dan mengoleksi sejumlah keris Lombok, sehingga tidak habis dibawa ke luar daerah, bahkan luar negeri menjadi konsumsi para kolektor melalui jalur wisata. Inipun setelah beliau melihat betapa banyaknya benda-benda purbakala Sasak yang telah sirna dari bumi Lombok. Karena itu, kepadanya, generari muda Sasak salut dan pantas kita acungkan jempol!.
Sisa-sisa peninggalan sejarah orang Sasak tempo doeloe, memang masih ada dan tersebar di berbagai tempat, terutama menjadi milik keluarga atau pribadi. Melalui serpihan itulah, lalu dilakukan penelusuran dan penelitian, termasuk dalam rangka pempublikasiannya. Namun sayangnya, untuk memperolehnya terkadang terlalu prosedural, bahkan terkadang harus melalui upacara-upacara ritual tertentu, sesuai tradisi yang telah lama diberlakukan.
Permasalahan lain yang mendorong penulisan sejarah ini adalah aktivitas dan kreativitas generasi muda Sasak dewasa ini yang ingin lebih mengenal jati diri mereka; apakah mereka itu dari kalangan pelajar, mahasiswa maupun LSM yang muncul di era reformasi kini. Sayangnya, ada satu masalah yang dewasa ini sering muncul sebagai suatu wacana sejarah di Indonesia (bukan hanya di pulau Lombok, tapi dimana-mana di nusantara ini), tentang obyektivitas dan kebenaran sejarah.
Yang ingin ditegaskan disini adalah, obyektivitas sejarah tidak sama secara mutlak dengan kebenaran sejarah. Sejarah tidak dapat menciptakan kembali masa lampau. Karenanya, obyektivitas yang diartikan ‘benar’ secara mutlak, tidak akan mungkin akan tercapai.
Penulisan sejarah hanya dapat dilakukan dengan aturan-aturan atau metode-metode sebatas menjamin obyektivitas itu. Malah sering ketika kita membaca tulisan-tulisan yang bernuansa sejarah daerah Lombok (Sasak), bisa jadi pengetahuan kita tidak menjadi bertambah tentang masa lampau itu, karena kebanyakan ditulis dengan penuh keragu-raguan dan pada kondisi obyektivitas yang tidak pasti.
Kita ambil contoh, masuknya kekuasaan Karang Asem-Bali merambah Lombok ada yang menulisnya pada kira-kira tahun 1692, 1693, 1721 dll. Padahal dalam candrasangkala (sandikala) atau kronogram sumber yang ada, jelas-jelas disebutkan tahun 1721 M. Demikian pula ketika versi tentang kalahnya raja Pejanggiq Pemban raja Kesuma oleh Karang Asen dan Arya Banjar Getas (Arya Sudarsana) (1722), sumber di Lombok menyebutkan raja Kesuma meninggalkan Purwa-Sakra ke Taliwang Sumbawa, masih ada yang mengikuti sumber yang salah yang menyatakan raja Kesuma ditawan, lalu dibawa ke Bali dan dibunuh di ujung yang jelas-jelas salah. Mengapa salah? Karena raja Kesuma masa itu masih mengendalikan pemerintahan di tempat persembunyiannya di Sumbawa Barat (Taliwang), bahkan tahun 1723-1724 pulang meneruskan perlawanan Pejanggiq melalui kerajaan Purwa (Purwadadi-Sakra) sebuah kerajaan bagian dari Pejanggiq yang masih bertalian darah.
Inilah faktor-faktor yang membuat orang terkadang bingung membaca tulisan yang sebenarnya bukan sejarah, tetapi sekedar berwawasan sejarah saja. Lain lagi upaya orang Sasak (Selaparang) memboikot atau merampas pelayaran Belanda dari maluku ke Batavia (Jakarta) membawa rempah-rempah yang bersekutu dengan Makasar, Bima, Dompu, Sumbawa, Ternate dan Tidore di sepanjang Teluk Saleh-Selat Makasar pasca perang Selaparang – VOC (Belanda) tahun 1675. Oleh banyak kalangan penulis sejarah Nusantara, dikatakannya sebagai bajak laut. Padahal justru mereka itu adalah pahlawan-pahlawan Nusantara yang tidak menghendaki berkuasanya Belanda di Indonesia.
Bahkan dalam sejarah Nasional, ketika orang di Ambon (Maluku) telah menemukan bukti sejarah bahwa, Pati Mura yang selama ini dikenal dengan nama Thomas Matulesi, tidak lain dari Ahmad Matulezi yang melakukan perlawanan habis-habisan terhadap imperialisme Barat di Maluku. Lalu nama Ahmad diganti menjadi Thomas. Toh masih juga sejarah nasional menulisnya demikian. Sengajakah pihak Belanda melakukan itu? Jawabnya ‘bisa ya, bisa tidak’. Kita sebut ‘ya’ karena ketika memandang bahwa yang diupayakan Belanda bukan sekedar penjajahan politik, tapi juga penjajahan melalui penyebaran agama Nasrani. Adanya misionaris yang secara gencar menyebarkan agama Nasrani, bahkan sampai-sampai Belanda mengirim Snouck Hurgronye belajar Islam dan tinggal bertahun-tahun di Makkah, sampai bisa memplesetkan sejumlah ayat al-qur’an dan hadits, adalah bukti dan upaya kegamangan yang dilakukan imperialisme Belanda dalam menguasai Nusantara.
Yang terakhir, barangkalai inilah sekelumit pengantar, sebagai awal penulisan Sejarah Daerah Lombok dengan Arya Banjar Getas. Harapannya, Insya Allah kita bertemu kembali pada edisi mendatang. (L.Pangkat Ali)
(2)
Tulisan dengan judul “Arya Banjar Getas” ini, disuguhkan bagi para pembaca ‘Perspektif’, khususnya generasi muda. Harapannya, agar mereka dapat memperoleh dan memiliki nuansa sejarah daerahnya. Paling tidak mereka akan tahu, sebutan-sebutan Arya Banjar Getas (ABG) bukan sekedar personal Arya Sudarsana semata, muncul sebagai pimpinan laskar (1675-1678) sampai menjadi patih ke lima Selaparang antara tahun 1715-1716, tetapi lebih dari sekedar pribadi.
Arya Banjar Getas, akhirnya menjadi nama sebuah kerajaan yang semula bernama kerajaan ‘Memelaq’, karena berpusat di Memelaq tahun 1722-1742 (sekarang di kelurahan Gerunung-Praya), lalu pindah ke Gawah Brora (berganti nama menjadi Praya, dibangun mulai tahun 1740 selesai tahun 1742 dan hingga kini bernama Praya). Jarak antara Gawah Memelaq beberapa kilo meter kearah Utara kota Praya. Sejak itu (1742) kerajaan Memelaq lebih popular dengan sebutan kerajaan Arya Banjar Getas (bukan kerajaan Praya).
Di samping nama dan fungsi di atas, sebutan Arya Banjar Getas, akhirnya menjadi nama gelar dinasti raja-raja yang memerintah di kerajaan itu (mulai Arya Sudarsana sebagai ABG I tahun 1722-1740 dan meninggal tahun 1742, berlanjut sampai Raden Wiracandra sebagai ABG VII) dalam kurun waktu berdiri sampai hancurnya kerajaan Arya Banjar Getas yang di akhir Congah (perang) Praya I tahun 1739-1741. Kerajaan boleh hancur tetapi perlawanan terhadap penjajah harus jalan terus.
Demikianlah kiprah generasi Arya Banjar Getas, tidak hingga disitu. Perlawanan terhadap kekuasaan Karang Asem masih tetap berlanjut sampai akhir Congah Praya II yang lebih dikenal dengan sebutan Perang Lombok (1891-1894) yang mengakhiri kekuasaan Dinasti Karang Asem di Lombok. Perlawanan Praya masih berlanjut lagi di saat berkuasanya Belanda (1894). Lewat berkali-kali perang rakyat Sasak yang dimotori Praya melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Kerajaan Selaparang Sekilas
Kerajaan Selaparang merupakan sebuah kerajaan terbesar di Pulau Lombok sejak abad XIII hingga abad XVIII. Kerajaan ini tumbuh dan berkembang dalam dua periode. Periode pertama, sebelum Islam masuk ke Lombok (abad XIII-XV) dan periode ke dua, setelah kerajaan Selaparang menjadi kerajaan Islam (abad XV-XVIII). Pada periode sebelum Islam, Selaparang ditaklukkan oleh Kerajaan Majapahit (tahun 1357 M) di bawah pimpinan Panglima Mpu Nala.
Kedatangan pasukan Majapahit ke Selaparang, sebenarnya pertama kali tahun 1343 M, berbarengan dengan upaya menaklukkan kerajaan-kerajaan di Bali. Namun mengalami kegagalan karena medan menuju ibukota Selaparang dari pantai (Labuhan Lombok, Gili Sulat dan sekiarnya) cukup jauh dan berat. Lebih-lebih harus melintasi bukit dan gunung yang terjal. Hal ini sebenarnya mudah ditebak oleh mereka yang mengerti akan makna “Selaparang” (dari bahasa Kawi; sela = batu; parang = cadas). Dengan demikian Selaparang berarti batu cadas (istilah bahasa Sasak = batu rerejeng). Tidak tepat jika disebut batu karang, sebab karang adanya di laut, sementara Selaparang letaknya di atas ketinggian bukit.
Dalam rangka Gajah Mada sebagai mahapatih kerajaan Majapahit sedang melaksanakan sumpah palapanya untuk mempersatukan Nusantara, tahun 1343, Gajah Mada memerintahkan Panglima Nala untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di bagian Timur Nusantara, antara lain Dompu di Pulau Sumbawa dan Selaparang di Pulau Lombok. Ekspedisi ini mengalami kegagalan total, karena pihak Majapahit kekurangan logistik dan medan yang ditempuh memang berat seperti yang dikemukakan di atas. Berbekal pengalaman atas kegagalan pada tahun 1343 M, ekspedisi Majapahit diperbesar jumlahnya serta dipersiapkan persenjataan maupun logistiknya secara matang.
Pada tahun 1357 M, Selaparang dan Dompu ditundukkan dan ikut bergabung dibawah panji-panji kebesaran Majapahit yang mendirikan kesatuan Nusantara. Bahkan dalam sebuah catatan yang dikenal dengan sbutan ‘Bencingah Punan’ (diambil dari nama bencingah atau balai agung, tempat menjamu tamu kehormatan) dinyatakan bahwa, setelah Selaparang menyatukan diri dengan Majapahit, Gajah Mada datang ke Selaparang.
Kehadiran Mahapatih Gajah Mada yang meminta pertemuan damai, disambut baik oleh Prabu Inopati bersama Patihnya Rangga Bumbung. Perundingan diadakan di pusat kerajaan Selaparang dengan catatan, para pembesar Majapahit harus hadir tanpa senjata jika memang ingin damai. Mereka boleh diikuti para prajuritnya.
Ratusan ekor kuda dipersiapkan oleh Selaparang untuk menjemput tamunya yang ketika itu telah berada di Karang Mumbul. Kesepakatan perundingan Bencingah Punan tersebut diukir dalam sebuah prasasti Punan (kini prasasti Punan tersebut menjadi koleksi Museum Leiden yang diboyong Belanda. Termasuk pula buku Negara Kertagama yang ditemukan Belanda di Lombok, tepatnya di Puri Cakranegara, ketika Cakranegara jatuh ke tangan Belanda 1894).
Tahun 1357 Majapahit menguasai Selaparang secara damai, termasuk kedatangan Gajah Mada. Kemudian Majapahit runtuh tahun 1478 M dengan cendrasengkalanya ;”sirna hilang kerta ning bhumi”. Memang masih ada pemerintahan yang bertahan atas nama Majapahit sampai tahun 1548 dengan rajanya yang terakhir bernama Girindrawardhana bergelar Prabu Brawijaya VII yang malang di kota Malang sekarang ini.
Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa dan daerah lainnya bermunculan pasca Majapahit. Demikian pula Islam disebarkan ke Lombok oleh para ulama, sejalan dengan pengaruh Wali Songo di Pulau Jawa. Ratu Praktikel (Sunan Mas) yang dikenal pula dengan nama Sunan Prapen, putra Sunan Giri (Gersik) merupakan tokoh penganjur agama Islam yang besar jasanya bagi proses Islamisasi di Pulau Lombok. Agama Islam akhirnya diterima oleh seluruh lapisan masyarakat Sasak, bahkan menjadi agama resmi kerajaan Selaparang sebagai penguasa Lombok.
Persekutuan Selaparang dengan para Sultan di Makasar, Bima, Sumbawa, Ternate dan Tidore menghadapi VOC (Kompeni Belanda) sempat menimbulkan ketegangan antara VOC dengan Selaparang. Karena, VOC ingin menopoli rempah-rempah di Maluku. Selaparang mengirim bala bantuannya sejumlah 20 kapal (perahu layar). Jangan kita heran jika sampai kini di Ternate masih terdapat perkampungan dengan nama kampung Sasak.
Berlanjut dengan jatuhnya Makasar ke tangan VOC, ditandai dengan perjanjian Bongaya, peran Selaparang menjadi semakin penting. Selaparang dijadikan pusat pertahanan kerajaan-kerajaan Islam Makasar, Bima dan Sumbawa. Peperangan antara Selaparang melawan VOC yang dibantu oleh Sultan Makasar, Bima dan Sumbawa, pecah pada tanggal 16 Maret 1675. Pasukan Belanda dipimpin oleh Kapten Holstijn. Sedang pasukan Selaparang dipimpin oleh tiga orang patihnya, masing-masing Raden Abdi Wirasantana, Raden Kawisanir Kusing dan Arya Busing.
Sejarah Belanda mencatat, betapa hebatnya pertempuran antara VOC dengan Selaparang. Btapa hebatnya Abdi Wirasantana dkk. Mengobrak-abrik pasukan Belanda, sehingga Holstijn tak mampu menaklukkan Selaparang dan meninggalkan Labuhan Lombok tanpa hasil apa-apa. Sayangnya, semua ini tak pernah terbaca dalam buku pelajaran sejarah nasional, sehingga orang Sasak seolah-olah hanya menjadi penonton ketika zaman VOC dan kolonial Belanda di bumi Nusantara tercinta ini.
Yang paling menyedihkan, faham orang Belanda yang menganggap prajurit Selaparang sebagai perompak VOC di sekitar laut Jawa, ikut dibahasakan oleh orang-orang Indonesia sendiri dengan sebutan yang sama yakni “perompak (bajak laut)” Padahal kalau mereka kaji, mereka adalah para pahlawan Sasak yang tidak senang terhadap penjajah Belanda. Hal ini adalah sebuah “pemutarbalikan fakta sejarah”
Karena itu, lewat tulisan ini perlu dipermasalahkan bahwa, pelurusan sejarah nasional mutlak diperlukan. Lebih-lebih masih banyaknya sejarah perjuangan rakyat diberbagai daerah yang belum terbaca dibuku sejarah Indonesia. Mungkin banyak orang Sasak yang tidak tahu kalau perang Sikka-di NTT melawan Belanda, itu dimotori orang Sasak yang dibuang ke sana, karena perang melawan Belanda. Mulai dari perang Sesela, perang Apitaiq, perang Gandor, perang Praya III, perang Pringgabaya I, II, perang Tuban Sengkol dan perang Batu Grantung Anyar-Bayan dalam kurun waktu tahun 1898-1913, banyak yang dibuang ke luar daerah jika mereka tertawan. Ada yang dibuang ke Sikka (NTT), Digul-Irian Barat (sekarang Papua), Dili (Tim-Tim), Sawahlunto, Jambi, Lampung, Riau (Batam), Bangka, Banyuwangi, Surabaya, Batavia (Betawi), Bandung, Cirebon dan Gili Trawangan (Lombok).
Ketika raja Sikka bernama Nikiniki berontak, yang mengajaknya mengangkat senjata, justru Lalu Pujut, Mamiq Padma dari Sengkol, Mamiq Ulan-Batujai, Papuq Ayu, Lalu Anting, Sirawi dan Sukur dari Pringgabaya. Dengan berbekalkan pengalaman angkat senjata di Lombok sampai mereka terbuang ke sana. Lalu Pujut, Lalu Anting dan Sirawi, akhirnya tewas dalam perang Sikka itu. Raden Ratsasih dan Raden Ratsayang (dua bersaudara) dari Batu Grantung dkk. dibuang ke Banyuwangi. Guru Saleh-Apitaiq dkk. dibuang ke Dili. Lalu Mustafa dari Praya dibuang ke Digul. Malah ketika Bung Karno dibuang ke Digul (1937), ia dapat membantunya menyiasati kelangkaan kertas. Daun pisang kering dibuat oleh Mustafa ini menjadi pengganti kertas dengan disetrika agar tidak banyak kerutan.
Sejalan dengan konplik Selaparang dengan VOC tahun 1675, muncul seorang tokoh legendaris Gumi Sasak (Lombok) bernama Arya Sudarsana, yang di Selaparang kemudian dikenal dengan nama Arya Banjar (belum bernama Arya Banjar Getas). Kelak di Pejanggiq baru dikenal dan popular dengan nama Arya Banjar Getas. Tokoh ini hampir tak pernah dilupakan orang, kendati hidup dan berkiprah di akhir abad XVII hingga memasuki pertengahan abad XVIII.
Banyak nama dan gelar yang disandangnya. Ini disebabkan karena, ketika hidupnya mengabdikan diri untuk bangsa dan Negara Sasak di gumi Lombok sebelum lahir NKRI. Arya Sudarsana melalui kiprahnya sebagai prajurit kerajaan Selaparang menghadapi VOC dalam perang tahun 1675. Kiprahnya sebagai prajurit berlanjut ketika Selaparang menghadapi serangan dari kerajaan Gelgel-Bali tahun 1677 dan 1678. Memang pada tahun 1616,1624 dan 1630 kerajaan Gelgel sudah mencoba ingin memperluas kekuasaannya ke wilayah timur (Lombok), namun tak pernah berhasil. (L.Pangkat Ali)
Maksud saya adalah, mempublikasikan sejarah dan budaya ini, semoga bermakna bagi generasi muda Sasak khususnya. Karena tidak ada maksud dan tendesi lain, kecuali memberikan pebelajaran dan pencerahan sejarah kepada mereka.
Jika dalam penyampaian cerita ini, terdapat perbedaan, kekeliruan, baik nama tokoh, ulasan, versi serta hal-hal lain yang dinilai cukup komplek, pada kesempatan ini saya mohon maaf, karena inilah keterbatasan pengetahuan saya.
Berkaitan dengan keterbatan-keterbatas di atas, mulai edisi ini saya ingin mencoba, mengetengahkan sejarah daerah Lombok melalui Arya Banjar Getasnya. Dengan harapan, Pembaca dapat memberikan tegur sapa yang sifatnya konstruktif pada saya. Dengan senang hati saya sampaikan rasa hormat yang setinggi-tingginya. Semoga dengan hadirnya tulisan ini, akan bermakna bagi generasi muda Sasak khususnya.
Perlu dikemukakan bahwa, peninggalan sejarah di Pulau Lombok, hanya sebagian kecil yang masih tersisa. Berbagai faktor penyebab musnahnya peninggalan tersebut antara lain, bangunan bersejarah seperti istana dan lain-lain, dihancurkan para penjajah penguasa secara sengaja yakni, Karang Asem dan diteruskan oleh Belanda. Penyebab lainnya adalah, sisa-sisa bangunan yang ada, dilanda bencana alam yang dahsyat terutama sekali meletusnya gunung Rinjani di abad XVII-XIX serta peninggalan-peninggalan ditulis dalam bentuk prasasti yang terbuat dari logam maupun daun lontar, kemudian banyak diangkut oleh penguasa Belanda ke Nederland. Yang dikuasai penjajah Belanda di bumi Nusantara ini, bukan sekedar ekonomi, namun menyangkut seluruh aspek kehidupan masyarakat, mulai dari ideologi sampai ke hankam.
Selain itu, ketidakfahaman penduduk akan makna sejarah, menyebabkan benda-benda bersejarah seperti senjata (keris, pedang, tombak), takepan (babad), alat-alat rumah tangga (keramik, porselin, perunggu, kuningan) diperjualbelikan secara sembarang, lalu diangkut ke luar daerah dan luar negeri. Begitu pula, yang paling penting bahwa, terdapat unsur kesengajaan dari para penjajah bahwa, sejarah termasuk bukti sejarah daerah Lombok (orang-orang Sasak) memang sengaja dihancurleburkan, karena kalau ingin menghancurkan suatu bangsa atau kaum, hancurkanlah sejarahnya. Ini adalah motto penjajah yang diterapkan di Bumi Lombok. Keganasan dan kegamangan penguasa masa lalu, telah menghancurkan bangunan-bangunan bersejarah dari semua kerajaan-kerajaan di Lombok seperti Selaparang, Pejanggiq, Purwa, Banjar Getas dll.
Penghancuran istana serta bangunan-bangunan sekitar, selalu dengan pola pembakaran sampai habis oleh penguasa dinasti Karang Asem Bali. Begitu pula kerajaan Karang Asem Bali yang pernah berkuasa di Lombok seperti Mataram, Singasari-Cakranegara, peninggalan bangunan bersejarahnya disapu rata lagi oleh penguasa Belanda.
Untung masih ada beberapa yang tersisa, misalnya masjid Bayan, makam Selaparang. Makam Pejanggiq yang secara kebetulan dibangun rata-rata di atas bukit, sehingga tidak terkena lahar gunung meletus. Selebihnya, sisa peninggalan Singasari-Cakranegara antara lain, pura Miru Cakranegara, taman Mayura dan taman Narmada yang dibangun pada masa kekuasaan dinasti Karang Asem di Lombok yang notabene memang aman dari keganasan bencana alam, terutama letusan gunung Rinjani yang terhebat tahun 1817 (Bedah Takepan-Babad dan Buku Sasak: Mamiq Jahar). Lebih-lebih lagi peninggalan yang tersisa itu dibangun setelah letusan Rinjani tadi.
Penghancuran ini, tidak hanya di zaman kolonial Belanda. Setelah kita merdeka pun banyak mesjid tua dirubah konstruksinya bergaya moderen. Begitu pula taman-taman yang pernah ada. Seperti contoh; taman zaman dinasti Arya Banjar Getas yang terletak disebelah timur istana (sekarang pendopo Kabupaten Lombok Tengah di Praya) yang pernah dipugar Belanda, juga diludeskan menjadi bangunan sekitar tahun 1957-1958.
Sisa-sisa bangunan bersejarah dari penghancuran yang dilakukan raja-raja penguasa, bahkan diperparah dan dikubur dalam tanah dengan meletusnya gunung Rinjani berkali-kali, dimulai tahun 1786 dan tahun 1817. Bukan saja korban harta, tapi beribu-ribu korban nyawa di pulau Lombok sampai ke Sumbawa Barat dan Bali Utara (Buleleng).
Lain lagi dengan benda-benda bersejarah lainnya. Oleh para pedagang, hingga kini benda-benda purbakala tersebut diperjualbelikan, lalu jatuh ke tangan kolektor mancanegara. Sementara, untuk penyelamatannya sulit dilakukan, karena pemerintah memiliki dana dan tenaga yang amat terbatas. Untung saja masih ada Ir.H.Lalu Djelenge, punya kepedulian yang tinggi akan benda-benda bersejarah di daerah Lombok. Membeli dan mengoleksi sejumlah keris Lombok, sehingga tidak habis dibawa ke luar daerah, bahkan luar negeri menjadi konsumsi para kolektor melalui jalur wisata. Inipun setelah beliau melihat betapa banyaknya benda-benda purbakala Sasak yang telah sirna dari bumi Lombok. Karena itu, kepadanya, generari muda Sasak salut dan pantas kita acungkan jempol!.
Sisa-sisa peninggalan sejarah orang Sasak tempo doeloe, memang masih ada dan tersebar di berbagai tempat, terutama menjadi milik keluarga atau pribadi. Melalui serpihan itulah, lalu dilakukan penelusuran dan penelitian, termasuk dalam rangka pempublikasiannya. Namun sayangnya, untuk memperolehnya terkadang terlalu prosedural, bahkan terkadang harus melalui upacara-upacara ritual tertentu, sesuai tradisi yang telah lama diberlakukan.
Permasalahan lain yang mendorong penulisan sejarah ini adalah aktivitas dan kreativitas generasi muda Sasak dewasa ini yang ingin lebih mengenal jati diri mereka; apakah mereka itu dari kalangan pelajar, mahasiswa maupun LSM yang muncul di era reformasi kini. Sayangnya, ada satu masalah yang dewasa ini sering muncul sebagai suatu wacana sejarah di Indonesia (bukan hanya di pulau Lombok, tapi dimana-mana di nusantara ini), tentang obyektivitas dan kebenaran sejarah.
Yang ingin ditegaskan disini adalah, obyektivitas sejarah tidak sama secara mutlak dengan kebenaran sejarah. Sejarah tidak dapat menciptakan kembali masa lampau. Karenanya, obyektivitas yang diartikan ‘benar’ secara mutlak, tidak akan mungkin akan tercapai.
Penulisan sejarah hanya dapat dilakukan dengan aturan-aturan atau metode-metode sebatas menjamin obyektivitas itu. Malah sering ketika kita membaca tulisan-tulisan yang bernuansa sejarah daerah Lombok (Sasak), bisa jadi pengetahuan kita tidak menjadi bertambah tentang masa lampau itu, karena kebanyakan ditulis dengan penuh keragu-raguan dan pada kondisi obyektivitas yang tidak pasti.
Kita ambil contoh, masuknya kekuasaan Karang Asem-Bali merambah Lombok ada yang menulisnya pada kira-kira tahun 1692, 1693, 1721 dll. Padahal dalam candrasangkala (sandikala) atau kronogram sumber yang ada, jelas-jelas disebutkan tahun 1721 M. Demikian pula ketika versi tentang kalahnya raja Pejanggiq Pemban raja Kesuma oleh Karang Asen dan Arya Banjar Getas (Arya Sudarsana) (1722), sumber di Lombok menyebutkan raja Kesuma meninggalkan Purwa-Sakra ke Taliwang Sumbawa, masih ada yang mengikuti sumber yang salah yang menyatakan raja Kesuma ditawan, lalu dibawa ke Bali dan dibunuh di ujung yang jelas-jelas salah. Mengapa salah? Karena raja Kesuma masa itu masih mengendalikan pemerintahan di tempat persembunyiannya di Sumbawa Barat (Taliwang), bahkan tahun 1723-1724 pulang meneruskan perlawanan Pejanggiq melalui kerajaan Purwa (Purwadadi-Sakra) sebuah kerajaan bagian dari Pejanggiq yang masih bertalian darah.
Inilah faktor-faktor yang membuat orang terkadang bingung membaca tulisan yang sebenarnya bukan sejarah, tetapi sekedar berwawasan sejarah saja. Lain lagi upaya orang Sasak (Selaparang) memboikot atau merampas pelayaran Belanda dari maluku ke Batavia (Jakarta) membawa rempah-rempah yang bersekutu dengan Makasar, Bima, Dompu, Sumbawa, Ternate dan Tidore di sepanjang Teluk Saleh-Selat Makasar pasca perang Selaparang – VOC (Belanda) tahun 1675. Oleh banyak kalangan penulis sejarah Nusantara, dikatakannya sebagai bajak laut. Padahal justru mereka itu adalah pahlawan-pahlawan Nusantara yang tidak menghendaki berkuasanya Belanda di Indonesia.
Bahkan dalam sejarah Nasional, ketika orang di Ambon (Maluku) telah menemukan bukti sejarah bahwa, Pati Mura yang selama ini dikenal dengan nama Thomas Matulesi, tidak lain dari Ahmad Matulezi yang melakukan perlawanan habis-habisan terhadap imperialisme Barat di Maluku. Lalu nama Ahmad diganti menjadi Thomas. Toh masih juga sejarah nasional menulisnya demikian. Sengajakah pihak Belanda melakukan itu? Jawabnya ‘bisa ya, bisa tidak’. Kita sebut ‘ya’ karena ketika memandang bahwa yang diupayakan Belanda bukan sekedar penjajahan politik, tapi juga penjajahan melalui penyebaran agama Nasrani. Adanya misionaris yang secara gencar menyebarkan agama Nasrani, bahkan sampai-sampai Belanda mengirim Snouck Hurgronye belajar Islam dan tinggal bertahun-tahun di Makkah, sampai bisa memplesetkan sejumlah ayat al-qur’an dan hadits, adalah bukti dan upaya kegamangan yang dilakukan imperialisme Belanda dalam menguasai Nusantara.
Yang terakhir, barangkalai inilah sekelumit pengantar, sebagai awal penulisan Sejarah Daerah Lombok dengan Arya Banjar Getas. Harapannya, Insya Allah kita bertemu kembali pada edisi mendatang. (L.Pangkat Ali)
(2)
Tulisan dengan judul “Arya Banjar Getas” ini, disuguhkan bagi para pembaca ‘Perspektif’, khususnya generasi muda. Harapannya, agar mereka dapat memperoleh dan memiliki nuansa sejarah daerahnya. Paling tidak mereka akan tahu, sebutan-sebutan Arya Banjar Getas (ABG) bukan sekedar personal Arya Sudarsana semata, muncul sebagai pimpinan laskar (1675-1678) sampai menjadi patih ke lima Selaparang antara tahun 1715-1716, tetapi lebih dari sekedar pribadi.
Arya Banjar Getas, akhirnya menjadi nama sebuah kerajaan yang semula bernama kerajaan ‘Memelaq’, karena berpusat di Memelaq tahun 1722-1742 (sekarang di kelurahan Gerunung-Praya), lalu pindah ke Gawah Brora (berganti nama menjadi Praya, dibangun mulai tahun 1740 selesai tahun 1742 dan hingga kini bernama Praya). Jarak antara Gawah Memelaq beberapa kilo meter kearah Utara kota Praya. Sejak itu (1742) kerajaan Memelaq lebih popular dengan sebutan kerajaan Arya Banjar Getas (bukan kerajaan Praya).
Di samping nama dan fungsi di atas, sebutan Arya Banjar Getas, akhirnya menjadi nama gelar dinasti raja-raja yang memerintah di kerajaan itu (mulai Arya Sudarsana sebagai ABG I tahun 1722-1740 dan meninggal tahun 1742, berlanjut sampai Raden Wiracandra sebagai ABG VII) dalam kurun waktu berdiri sampai hancurnya kerajaan Arya Banjar Getas yang di akhir Congah (perang) Praya I tahun 1739-1741. Kerajaan boleh hancur tetapi perlawanan terhadap penjajah harus jalan terus.
Demikianlah kiprah generasi Arya Banjar Getas, tidak hingga disitu. Perlawanan terhadap kekuasaan Karang Asem masih tetap berlanjut sampai akhir Congah Praya II yang lebih dikenal dengan sebutan Perang Lombok (1891-1894) yang mengakhiri kekuasaan Dinasti Karang Asem di Lombok. Perlawanan Praya masih berlanjut lagi di saat berkuasanya Belanda (1894). Lewat berkali-kali perang rakyat Sasak yang dimotori Praya melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Kerajaan Selaparang Sekilas
Kerajaan Selaparang merupakan sebuah kerajaan terbesar di Pulau Lombok sejak abad XIII hingga abad XVIII. Kerajaan ini tumbuh dan berkembang dalam dua periode. Periode pertama, sebelum Islam masuk ke Lombok (abad XIII-XV) dan periode ke dua, setelah kerajaan Selaparang menjadi kerajaan Islam (abad XV-XVIII). Pada periode sebelum Islam, Selaparang ditaklukkan oleh Kerajaan Majapahit (tahun 1357 M) di bawah pimpinan Panglima Mpu Nala.
Kedatangan pasukan Majapahit ke Selaparang, sebenarnya pertama kali tahun 1343 M, berbarengan dengan upaya menaklukkan kerajaan-kerajaan di Bali. Namun mengalami kegagalan karena medan menuju ibukota Selaparang dari pantai (Labuhan Lombok, Gili Sulat dan sekiarnya) cukup jauh dan berat. Lebih-lebih harus melintasi bukit dan gunung yang terjal. Hal ini sebenarnya mudah ditebak oleh mereka yang mengerti akan makna “Selaparang” (dari bahasa Kawi; sela = batu; parang = cadas). Dengan demikian Selaparang berarti batu cadas (istilah bahasa Sasak = batu rerejeng). Tidak tepat jika disebut batu karang, sebab karang adanya di laut, sementara Selaparang letaknya di atas ketinggian bukit.
Dalam rangka Gajah Mada sebagai mahapatih kerajaan Majapahit sedang melaksanakan sumpah palapanya untuk mempersatukan Nusantara, tahun 1343, Gajah Mada memerintahkan Panglima Nala untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di bagian Timur Nusantara, antara lain Dompu di Pulau Sumbawa dan Selaparang di Pulau Lombok. Ekspedisi ini mengalami kegagalan total, karena pihak Majapahit kekurangan logistik dan medan yang ditempuh memang berat seperti yang dikemukakan di atas. Berbekal pengalaman atas kegagalan pada tahun 1343 M, ekspedisi Majapahit diperbesar jumlahnya serta dipersiapkan persenjataan maupun logistiknya secara matang.
Pada tahun 1357 M, Selaparang dan Dompu ditundukkan dan ikut bergabung dibawah panji-panji kebesaran Majapahit yang mendirikan kesatuan Nusantara. Bahkan dalam sebuah catatan yang dikenal dengan sbutan ‘Bencingah Punan’ (diambil dari nama bencingah atau balai agung, tempat menjamu tamu kehormatan) dinyatakan bahwa, setelah Selaparang menyatukan diri dengan Majapahit, Gajah Mada datang ke Selaparang.
Kehadiran Mahapatih Gajah Mada yang meminta pertemuan damai, disambut baik oleh Prabu Inopati bersama Patihnya Rangga Bumbung. Perundingan diadakan di pusat kerajaan Selaparang dengan catatan, para pembesar Majapahit harus hadir tanpa senjata jika memang ingin damai. Mereka boleh diikuti para prajuritnya.
Ratusan ekor kuda dipersiapkan oleh Selaparang untuk menjemput tamunya yang ketika itu telah berada di Karang Mumbul. Kesepakatan perundingan Bencingah Punan tersebut diukir dalam sebuah prasasti Punan (kini prasasti Punan tersebut menjadi koleksi Museum Leiden yang diboyong Belanda. Termasuk pula buku Negara Kertagama yang ditemukan Belanda di Lombok, tepatnya di Puri Cakranegara, ketika Cakranegara jatuh ke tangan Belanda 1894).
Tahun 1357 Majapahit menguasai Selaparang secara damai, termasuk kedatangan Gajah Mada. Kemudian Majapahit runtuh tahun 1478 M dengan cendrasengkalanya ;”sirna hilang kerta ning bhumi”. Memang masih ada pemerintahan yang bertahan atas nama Majapahit sampai tahun 1548 dengan rajanya yang terakhir bernama Girindrawardhana bergelar Prabu Brawijaya VII yang malang di kota Malang sekarang ini.
Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa dan daerah lainnya bermunculan pasca Majapahit. Demikian pula Islam disebarkan ke Lombok oleh para ulama, sejalan dengan pengaruh Wali Songo di Pulau Jawa. Ratu Praktikel (Sunan Mas) yang dikenal pula dengan nama Sunan Prapen, putra Sunan Giri (Gersik) merupakan tokoh penganjur agama Islam yang besar jasanya bagi proses Islamisasi di Pulau Lombok. Agama Islam akhirnya diterima oleh seluruh lapisan masyarakat Sasak, bahkan menjadi agama resmi kerajaan Selaparang sebagai penguasa Lombok.
Persekutuan Selaparang dengan para Sultan di Makasar, Bima, Sumbawa, Ternate dan Tidore menghadapi VOC (Kompeni Belanda) sempat menimbulkan ketegangan antara VOC dengan Selaparang. Karena, VOC ingin menopoli rempah-rempah di Maluku. Selaparang mengirim bala bantuannya sejumlah 20 kapal (perahu layar). Jangan kita heran jika sampai kini di Ternate masih terdapat perkampungan dengan nama kampung Sasak.
Berlanjut dengan jatuhnya Makasar ke tangan VOC, ditandai dengan perjanjian Bongaya, peran Selaparang menjadi semakin penting. Selaparang dijadikan pusat pertahanan kerajaan-kerajaan Islam Makasar, Bima dan Sumbawa. Peperangan antara Selaparang melawan VOC yang dibantu oleh Sultan Makasar, Bima dan Sumbawa, pecah pada tanggal 16 Maret 1675. Pasukan Belanda dipimpin oleh Kapten Holstijn. Sedang pasukan Selaparang dipimpin oleh tiga orang patihnya, masing-masing Raden Abdi Wirasantana, Raden Kawisanir Kusing dan Arya Busing.
Sejarah Belanda mencatat, betapa hebatnya pertempuran antara VOC dengan Selaparang. Btapa hebatnya Abdi Wirasantana dkk. Mengobrak-abrik pasukan Belanda, sehingga Holstijn tak mampu menaklukkan Selaparang dan meninggalkan Labuhan Lombok tanpa hasil apa-apa. Sayangnya, semua ini tak pernah terbaca dalam buku pelajaran sejarah nasional, sehingga orang Sasak seolah-olah hanya menjadi penonton ketika zaman VOC dan kolonial Belanda di bumi Nusantara tercinta ini.
Yang paling menyedihkan, faham orang Belanda yang menganggap prajurit Selaparang sebagai perompak VOC di sekitar laut Jawa, ikut dibahasakan oleh orang-orang Indonesia sendiri dengan sebutan yang sama yakni “perompak (bajak laut)” Padahal kalau mereka kaji, mereka adalah para pahlawan Sasak yang tidak senang terhadap penjajah Belanda. Hal ini adalah sebuah “pemutarbalikan fakta sejarah”
Karena itu, lewat tulisan ini perlu dipermasalahkan bahwa, pelurusan sejarah nasional mutlak diperlukan. Lebih-lebih masih banyaknya sejarah perjuangan rakyat diberbagai daerah yang belum terbaca dibuku sejarah Indonesia. Mungkin banyak orang Sasak yang tidak tahu kalau perang Sikka-di NTT melawan Belanda, itu dimotori orang Sasak yang dibuang ke sana, karena perang melawan Belanda. Mulai dari perang Sesela, perang Apitaiq, perang Gandor, perang Praya III, perang Pringgabaya I, II, perang Tuban Sengkol dan perang Batu Grantung Anyar-Bayan dalam kurun waktu tahun 1898-1913, banyak yang dibuang ke luar daerah jika mereka tertawan. Ada yang dibuang ke Sikka (NTT), Digul-Irian Barat (sekarang Papua), Dili (Tim-Tim), Sawahlunto, Jambi, Lampung, Riau (Batam), Bangka, Banyuwangi, Surabaya, Batavia (Betawi), Bandung, Cirebon dan Gili Trawangan (Lombok).
Ketika raja Sikka bernama Nikiniki berontak, yang mengajaknya mengangkat senjata, justru Lalu Pujut, Mamiq Padma dari Sengkol, Mamiq Ulan-Batujai, Papuq Ayu, Lalu Anting, Sirawi dan Sukur dari Pringgabaya. Dengan berbekalkan pengalaman angkat senjata di Lombok sampai mereka terbuang ke sana. Lalu Pujut, Lalu Anting dan Sirawi, akhirnya tewas dalam perang Sikka itu. Raden Ratsasih dan Raden Ratsayang (dua bersaudara) dari Batu Grantung dkk. dibuang ke Banyuwangi. Guru Saleh-Apitaiq dkk. dibuang ke Dili. Lalu Mustafa dari Praya dibuang ke Digul. Malah ketika Bung Karno dibuang ke Digul (1937), ia dapat membantunya menyiasati kelangkaan kertas. Daun pisang kering dibuat oleh Mustafa ini menjadi pengganti kertas dengan disetrika agar tidak banyak kerutan.
Sejalan dengan konplik Selaparang dengan VOC tahun 1675, muncul seorang tokoh legendaris Gumi Sasak (Lombok) bernama Arya Sudarsana, yang di Selaparang kemudian dikenal dengan nama Arya Banjar (belum bernama Arya Banjar Getas). Kelak di Pejanggiq baru dikenal dan popular dengan nama Arya Banjar Getas. Tokoh ini hampir tak pernah dilupakan orang, kendati hidup dan berkiprah di akhir abad XVII hingga memasuki pertengahan abad XVIII.
Banyak nama dan gelar yang disandangnya. Ini disebabkan karena, ketika hidupnya mengabdikan diri untuk bangsa dan Negara Sasak di gumi Lombok sebelum lahir NKRI. Arya Sudarsana melalui kiprahnya sebagai prajurit kerajaan Selaparang menghadapi VOC dalam perang tahun 1675. Kiprahnya sebagai prajurit berlanjut ketika Selaparang menghadapi serangan dari kerajaan Gelgel-Bali tahun 1677 dan 1678. Memang pada tahun 1616,1624 dan 1630 kerajaan Gelgel sudah mencoba ingin memperluas kekuasaannya ke wilayah timur (Lombok), namun tak pernah berhasil. (L.Pangkat Ali)
Sumber: http://sasak-kopang.blogspot.com
0 komentar:
Post a Comment