unculnya Islam membuka zaman baru dalam sejarah kehidupan manusia. Kelahiran Nabi Muhammad Saw adalah suatu peristiwa yang tiada tandingannya. Beliau adalah utusan Allah Swt yang terakhir dan sebagai pembawa kebaikan bagi seluruh umat manusia (Rahmatan Lillalamin). Michael Hart[1], dalam bukunya yang terbaru menempatkan beliau menjadi seratus orang yang berpengaruh karena beliau sangat biajak dalam bidang agama atau bidang duniawi. Banyak permasalahan semasa pemerintahan Rasululah Saw dari mulai politik & urusan kontitusional, Rasulullah Saw merubah sistem ekonomi & keuangan Negara sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an & Hadist nya[2]. Didalam Al-Qur’an telah dituliskan secara jelas semua petunjuk bagi umat manusia tentunya bisa diambil dan diadobsi menjadi petunjuk untuk semua urusan manusia.
Kemakmuran di dunia merupakan pemberian dari Allah Swt dan sekaligus penguasa tertinggi milik seluruh alam semesta, manusia adalah sebagai kontribusi yang sangat besar terhadap kelangsungan & perkembangan pemikiran ekonomi yang membawa efek baik[3].
Sebenarnya ada dua macam sejarah ekonomi[4]:
* Sejarah ekonomi yang merefleksikan evolusi pemikiran tentang ekonomi.
* Sejarah perekonomian yang menggambarkan bagaimana perekkonomian itu bisa menjadi perekonomian suatu bangsa misalnya, Indonesia.
Dalam sejarah pemikiran ekonomi paling tidak dikenal 2 jenis[5] pertama, Sejarahlah yang membeberkan evolusi pemikiran yakni suatu pemikiran dapat bersumber dari beberapa pemikir. Kedua, Menceritakan riwayat hidup dan pemikiran tokoh-tokoh pemikir besar seperti Adam Smith, Joseph Schumpeter, John Maynard Keynes dll.
Sebelum islam datang dikota Yasrib[6] sangat tidak menentu karena tidak mempunyai pemimpin yang berdaulat secara penuh tentang islam. Hukum dan pemerintahan di kota ini tidak pernah berdiri tegak dan masyarakat senantiasa hidup dalam dalam ketidak pastian apa lagi dalam urusan ekonomi. Auz dan kharaz yang merupakan dua kabilah terbesar yang ada dikota yasrib senantiasa terlibat dalam pertikaian dalam merebutkan kekuasaan. Oleh karena itu, beberapa kelompok menemui nabi Muhammad Saw. Yang terkenal dengan panggilannya Al-Amin (terpecaya) untuk meminta nya agar menjadi pemimpin mereka, mereka berjanji akan selalu menjaga keselamatan nabi dan para pengikutnya serta ikut memelihara dan mengembangkan agama Islam. Pada masa ini Islam mendapat tantangan dan rintangan yang sangat besar dari kaum Quraisy selama 13 tahun sejak wahyu pertama diturunkan, Nabi Muhammad Saw berhijrah dari kota Mekkah ke kota Yasrib. Sejak itu kota yasrib menjadi kota madinah.
Sebelum islam datang kehidupan masyarakat sangat buruk dari segi masyarakat, pemerintahan, intitusi karena mereka selalu bertentangan degan prinsip ajaran islam. Para Bankir Yahudi mulai mewarnai kehidupan umat isalam dengan cengkraman ribawi[7].
Jauh dari nilai-nilai Qur’ani seperti persaudaraan, persamaan, kebebasan, dan keadilan.
Selalu dibayang-bayangi oleh peperangan antar suku yang tidak pernah berhenti sehingga islam hadir ditengah-tengah mereka. Dan belum bisa dimobalisasikan dalam waktu dekat karena butuh waktu untuk membawa seluruh aspek kejalan yang lurus.
Perekonomian Arab[8] ketika itu adalah adalah ekonomi dagang bukan ekonomi yang berbasis sumber daya alam; minyak bumi belum ditemukan dan sumber daya alam lainnya terbatas di Zaman Rasulullah Saw bukanlah ekonomi yang terbelakang yang hanya mengenal barter bahkan jauh dari gambaran seperti itu.
Valuta asing dari Persia dan Romawi yang menjadi alat bayar resmi adalah Dirham dan Dinar, Sistem devisa bebas diterapkan dan devisa sebagai alat pembayaran yang sah dan resmi. Bahkan Sayyidina Umar Ibn Khattab[9] pernah menggunakan Instrumen Cek untuk mempercepat distribusi barang yang diimpor dari Mesir ke Madinah.
Instrumen Anjak piutang yang baru populer pada tahun 1980-an telah terkenal sejak zaman Rasul dengan nama Al-Hiwalah tetapi tidak pakai bunga tentunya dan itu sejak zaman rasul dan para sahabat. Ingatlah Rasulullah Saw telah menjadi pedagang internasional sejak usia dini ketika beliau berumur 12 tahun beliau ikut pamannya ke Syam untuk berdagang dan pada umur 16 tahun beliau pergi berdagang lagi dengan pamannya ke Yaman.
Indahnya Islam[10] adalah Monopoli boleh tetapi Monopoli’s Rent tidak boleh dan globalisasi dibuka seluas-luasnya, transaksi maya ditutup dengan serapat-rapatnya.
Pada zaman rasul gaji pegawai negeri tidak besar namun dengan pola yang sederhana dan nilai uang yang stabil mereka bisa hidup layak dan mampu membayar zakat.
Fase Pertama (450/1058 M)
Fase pertama merupakan fase abad awal sampai abad ke-5 Hijriyah atau abad ke-11 masehi yang dikenal dengan Fase Dasar-dasar Ekonomi Islam yang Dirintis oleh para Foqoha[11] diikuti oleh Sufi kemudian Filosof.
Fokus fiqh adalah apa yang diturunkan oleh syariah dan dalam konteks ini para fuqoha mendiskusikan tentang fenomena ekonomi. Tujuan mereka tidak terbatas pada penggambaran dan penjelasan fenomena ini namun demikian dengan mengacu pada Al-Qur’an dan Hadist Nabi mereka mengeksplorasi konsep maslahah (Utility) dan Mafsadah (Disutility)[12] yang terkait dengan aktivitas ekonomi. Pemikiran yang timbul terfokous kepada apa manfaat sesuatu yang dianjurkan dan apa kerugian bila melaksanakan yang dilarang oleh agama. Pemaparan para fuqoha tersebut mayoritas bersifat normatif dengan wawasan positif ketika berbicara tentang prilaku yang adil, kebijakan yang baik, dan batasan-batasan yang dibolehkan dengan masalah dunia[13].
Sedangkan kontibusi tasawuf[14] terhadap pemikiran ekonomi adalah pada keajengannya dalam mendorong kemitraan yang saling menguntungkan tidak rakus dalam memanfaatkan kesempatan yang diberikan Allah Swt, dan secara tetap menolak penempatan tuntutan kekayaan dunia yang terlalu tinggi[15].
Sementara filosof muslim dengan tetap berdasarkan syariah dalam keseluruhan pemikirannya. Tokoh-tokoh pemikiran ekonomi Islam[16] pada fase pertama ini adalah. Diwakili oleh Zaid bin Ali (80 H/738 M), Abu Hanifah (150 H/767 M), Ubaid bi Sallam (224 H/838 M), Ibnu Maskawih (421 H/1030 M) kemudian Al-Mawardi (450 H/1058 M). dan Abu Yusuf (182 H/798 M).
Ide-ide pemikiran yang pernah diciptakan fuqoha dan berdampak pemikiran yang positif antara lain:
Abu Yusuf[17] (798 M) adalah ekonom pertama yang menulis secara khusus tentang kebijakan ekonomi dan kitabnya Al-Kharaz yang menjelaskan tentang kewajiban ekonomi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan rakyat nya. Menyarankan adanya zakat pertanian dan menentang adanya pajak, bagaimana membiayai jembatan, bendungan, dan irigasi.
Fase KeDua (1058 M-1446 M)
Fase kedua dimulai pada abad ke-11 sampai pada abad ke-15 masehi dikenal sebagai fase yang cemerlang karena meninggalkan warisan intelektual yang sangat kaya. Para cendikiawan muslim dimasa lampau mampu menyusun konsep tentang bagaimana umat melaksanakan kegiatan ekonomi yang seharusnya berlandaskan Al-Qur’an dan Hadist Nabi. Pada saat yang bersamaan sisi lain mereka menghadapi realitas politik yang ditandai oleh dua hal[18] :
* Disintegrasi pusat kekuasaan Bani Abbassiyah dan terbaginya kerajaan kedalam beberapa kekuatan regional yang mayoritas didasarkan pada kekuatan (power) ketimbang kehendak rakyat.
* Merebaknya korupsi dikalangan para penguasa diiringi dengan dekadensi moral dikalangan masyarakat yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan yang semakin melebar antara si kaya dan si miskin.
Pada masa ini wilayah kekuasaan islam yang terbantang dari Maroko sampai Spanyol Barat hingga India di Timur telah melahirkan berbagai pusat kegiatan intelektual.
Tokoh-tokoh pemikir ekonomi islam[19] pada fase ini diwakilkan oleh:
Al-Ghazali (w. 505 H/1111 M), Ibnu Taymiyah (w. 728/1328 M), Al-Syatibi (w. 790 H/1388 M), Ibnu Khaldun (beliau dapat dianggap sebagai pelopor perdagangan fisiokrat dan penulis klasik seperti misalnya, Adam Smith, dan penulis Neo klasik lainnya seperti Keynes), dan Al-Maqirizi (845 H/1441 M).
Ide-idenya Al-Ghazali[20] menjelaskan fungsi-fungsi uang dalam perekonomian jauh sebelum lahirnya Adam Smith 700 tahun sebelum bapak ekonomi konvensional menulis bukunya The Wealth of Nation[21].
Fese Ketiga 1446 M-1932 M
Fase ketiga yang dimulai pada tahun 1446 hingga 1932 Masehi merupakan fase tertutupnya ointu ijtihad ( Independent Judgement ) yang mengakibatkan fase ini dikenal dengan Fase STAGNASI[22].
Pada fase ini para fuqoha hanya menulis catatan-catatan para pendahulu nya dan mengeluarkan fatwa-fatwa yang sesuai dengan aturan standar bagi maing-masing mazhab. Namun demikian, terdapat sebuah gerakan pembaru selama dua abad terakhir yang menyeru untuk kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad Saw sebagai sumber pedoman hidup.
Tokoh-tokoh Pemikir Ekonomi Islam[23] pada fase ini adalah :
Shah Wali Allah (w. 1176 H/1762 M), Jamaluddin Al-Afgani (w. 1315 H/1897 M), Muhammad Abduh (w. 1320 H/1905 M), dan Muhammad Iqbal (w. 1357 H/1938 M).
Fase Ekonomi Islam Kontemporer
Sejak Negar-negara muslim secara fisik berhasil membebaskan dirinya dari penjajahan dan kolonialisme barat pada pertengahan abad ke-20. Mereka segera memasuki dunia baru dengan persoalan pembangunan dan perekonomian yang rumit.
Pada saat yang sama ekonomi islam dan keuangan islam mulai memperlihatkan sosoknya sebagai suatu alternatif baru yang diambil dari sari pati ajaran islam. Pada Dasawarsa 1970-an dan 1980-an dimulai dari kajian-kajian tentang ekonomi dan keuangan Islam di Timur Tengah serta Negara Muslim lainnya. Buah dari kajian tersebut adalah didirikannya Islamic Development Bank di Jeddah tahun 1975 yang diikuti pendirian bank-bank islam lainnya[24].
Salah satu ciri yang paling dominan pada masa abad ini adalah pertikaian dan persaingan yang diada henti antara Kapitalisme dan Komunisme[25]. Masing-masing dari kedua dokrin tersebut melakukan yang terbaik untuk menjadikan visi kehidupan sosioekonomi nya berlaku, dan kalau bisa menguasai dunia secara keseluruhan.
Disebabkan keunggulan dua Idiology ini dalam rentang waktu yang cukup panjang, Mayoritas umat manusia dalam kurun waktu itu sampai percaya bahwa mereka tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus memiliki salah satu diantara keduanya.
Dalam belahan pertama abad ini kita telah menyaksikan sebagian kaum muslimin kehilangan daya nya karena menderita dibawah kekuasaan asing. Suara yang paling lantang ketika itu berasal dari anak Asia Selatan yaitu suara Muhammad Iqbal ( 1939 M).
Sejarah Ekonomi Islam Di Lihat Dari Para Tokoh-Tokoh Setelah Rasulullah Saw Suatu Survai
Sejarah Islam umumnya adalah sejarah politik dan agama dan jarang menjelaskan aspek perekonomian. Dengan studi ini kita bisa “membongkar” sejarah Islam dalam aspek ekonomi.
Bahkan secara khusus, M.A. Sabzwari, berhasil melukiskan “Sistem Ekonomi dan Fiskal” pada pemerintahan Rasulullah Saw. Ini merupakan tulisan sejarah yang sangat unik. Dari situ kita dapat memperoleh keterangan bahwa Rasulullah Saw ternyata bukan hanya seorang pemimpin masyarakat dan Negara, panglima militer, bahkan ternyata juga seorang “teknokrat” yang melaksanakan pembangunan yang komperhensif. Dapat disimpulkan bahwa Rasulullah Saw melaksanakan politik kemakmuran dan kesejahteraan yang sangat kentara berdimensi keadilan. Disitu tampak eratnya kaitan antara agama dan ekonomi. Politik kemakmuran ini dilanjutkan di zaman modern[26].
Kontribusi kaum muslimin yang sangat besar terhadap kelangsungan dan perkembangan pemikiran ekonomi pada khususnya dan peradaban dunia pada umumnya, telah diabaikan oleh para Ilmuan Barat. Buku-buku ekonomi barat hampir tidak pernah menyebut peranan kaum Muslimin ini. Menurut Chapra, meskipun sebagian kesalahan terletak ditangan umat Islam karena tidak mengartikulasikan secara memadai kontribusi kaum Muslimin, tetapi Barat memiliki andil dalam hal ini, karena tidak memberikan penghargan yang layak atas kontribusi peradaban lain bagi kemajuan pengetahuan manusia[27].
Para sejarawan Barat telah menulis sejarah ekonomi dengan sebuah asumsi bahwa periode antara Yunani dan Skolastis adalah steril dan tidak produktif. Sebagi contoh, sejarawan sekaligus ekonomi terkemuka, Joseph Schumpeter, sama sekali mengabaikan peranan kaum Muslimin. Ia memulai penulisan sejarah ekonominya dari para filosof yunani dan langsung melakukan loncatan jauh selama 500 tahun, dikenal sebagai The Great Gap, ke zaman St. Thomas Aquinas (1225-1274 M)[28].
Adalah hal yang sangat sulit untuk dipahami mengapa para ilmuan Barat tidak menyadari bahwa sejarah pengetahuan merupakan suatu proses yang berkesinambungan, yang dibangun diatas pondasi yang diletakkan para ilmuan generasi sebelumnya. Jika proses ini didasari dengan sepenuhnya, menurut Chapra, Schumpeter mungkin tidak mengasumsikan adanya kesenjangan yang besar selama 500 tahun, tetapi mencoba menemukan pondasi di atas para ilmuan Skolastik dan Barat mendirikan bangunan intelektual mereka[29].
Sebaliknya, meskipun telah memberikan kontribusi yang besar, kaum Muslimin tidak lupa mengakui utang mereka kepada para Ilmuwan Yunani, Persia, India, dan Cina. Halini sekaligus mengindikasikan inklusivitas para cendikiawan Muslim masa lalu terhadap berbagai ide pemikiran dunia luar selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam[30].
Sejalan dengan ajaran Islam tentang pemberdayaan akal pikiran dengan tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadist Nabi, konsep dan teori ekonomi dalam Islam pada hakikatnya merupakan respon para cendikiawan Muslim terhadap berbagai tantangan ekonomi pada waktu-waktu tertentu. Ini juga berarti bahwa pemikiran ekonomi Islam seusia Islam itu sendiri.
[1] Sejarah Pemikiran Islam Adiwarman Azwar Karim, MA, IIIT Hal : 19
[2] Sejarah Pemikiran Islam, IIIT Ibid Hal ; 4
[3] Sejarah Pemikiran Islam, Edisi ke 2 ibid Hal ; 3
[4] Sejarah Pemikiran Islam, IIIT Pengantar Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo hal ; xi
[5] Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, IIIT Pengantar Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo, hal, xii
[6] Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Ir. H. Adi Warman A. Karim, SE. MBA. MAEP, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam hal, 22
[7] Ekonomi Islam “Suatu Kajian Kontemporer” Ir. H. Adiwarman A. Karim
[8] Ibid, hal 11
[9] Ibid, hal 9
[10]ibid
[11] Pendapat M. Nejatullah Siddiq dalam sejarah pemikiran ekonomi islam, hal 10.
[12]Ibid, hal 11
[13] Ibid
[14] Ibid
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Adiwarman Kaarim, Sejarah Pemikiran Islam, (Jakarta: IIIT, 2001) hal. xiii
[18] Ibid Rajawali Pers hal. 18
[19] Ibid, hal 18-21
[20] Ibid
[21] Ibid
[22] Ibid, hal 21
[23] Ibid
[24]Dr. M. Umar Chapra, Islam dan Pembangunan Ekonomi, Tazkiah Institute, 2000, hal, xi ( Prakata Tazkia Institute )
[25] Ibid, hal, xiiii
[26] Sejarah Pemikiran Islam, Pengantar Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo, hal xv
[27] M. Umar Chapra, op, cit, hal. 261
[28] Pembahasan lebih lanjut mengenai hal ini, lihat Abbas Mirakhor, Muslim Contribution to Economics, dalam Baqir Al-Hasani dan Abbas Mirakhor, Essay on Iqtisad: The Islamic Approach to Ekonomics Problems, (USA: Nur Coorporation, 1989), hal. 82-86
[29] M. Umar Chapra, ibid, hal. 261-265
[30] Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi Ke 2, Ir. H. Adiwarman Azwar Karim, SE. MBA. MAEP, hal. 9 dan lebih lanjut tentang hal ini , Lihat Harun Nasution, op, cit, hal. 52-58.
0 komentar:
Post a Comment