Pukul Berapa yaaaaa??

Slider

29 March 2011

Kode Lemak Babi Di Es Krim MAGNUM

Salah seorang rekan saya bernama Shaikh Sahib bekerja sebagai pegawai di Badan Pengawasan Obat & Makanan (POM) di Pegal, Perancis. Tugasnya adalah mencatat semua merek barang, makanan dan obat-obatan. Produk apapun yang akan disajikan suatu perusahaan ke pasaran, bahan-bahan produk tersebut harus terlebih dahulu mendapat ijin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan Prancis dan Shaikh Sahib kerja di Badan tersebut bagian QC, oleh sebab itu dia mengetahui berbagai macam bahan makanan yang dipasarkan.


Banyak dari bahan-bahan tersebut dituliskan dengan istilah ilmiah namun ada juga beberapa yang dituliskan dalam bentuk matematis seperti E-904, E-141. Awalnya, saat Shaikh Sahib menemukan bentuk matematis tersebut, dia penasaran dan kemudian menanyakan kode matematis tersebut kepada seorang perancis yang berwenang dalam bidang itu dan orang tersebut menjawab "KERJAKAN SAJA TUGASMU, DAN JANGAN BANYAK TANYA".


Jawaban tersebut menimbulkan kecurigaan buat Shaikh Sahib dan dia Kemudian mulai mencari tahu kode matematis tersebut dalam dokumen yang ada. Ternyata apa yang dia temukan cukup mengagetkan kaum m! uslim di dunia. Hampir di seluruh negara barat termasuk Eropa, pilihan utama untuk Daging adalah daging babi.


Peternakan babi sangat banyak di negara-negara tersebut. Di perancis sendiri jumlah peternakan babi mencapai lebih dari 42.000. Jumlah kandungan lemak dalam tubuh babi sangat tinggi dibandingkan dengan hewan lainnya. Namun orang eropa dan amerika berusaha menghindari lemak-lemak tersebut. Kemudian yang menjadi pertanyaan sekarang; dikemanakan lemak-lemak babi tersebut ?


Jawabannya adalah: Babi-babi tersebut dipotong di rumah-rumah jagal dalam pengawasan Badan POM dan yang membuat pusing Badan tersebut adalah membuang lemak yang sudah dipisahkan dari daging babi. Dahulu kira-kira 60 tahun yang lalu, lemak-lemak tersebut dibakar. Kemudian mereka berpikir untuk memanfaatkan lemak-lemak tersebut. Sebagai awal ujicobanya mereka membuat sabun dengan bahan lemak tersebut dan ternyata itu berhasil.


Lemak-lemak tersebut diproses secara kimiawi, dikemas sedemikian rupa Dan di! pasarkan Dalam pada itu negara-negara di eropa memberlakukan aturan Ya ng mengharuskan bahan-bahan dari setiap produk makanan, obat-obatan harus dicantumkan pada kemasan. Oleh karena itu bahan yang terbuat dari lemak babi dicantukam dengan nama Pig Fat (lemak babi) pada kemasan produk.


Mereka yang sudah tinggal di Eropa selama 40 tahun terakhir ini mengetahui Hal tersebut. Namun produk dengan bahan lemak babi tersebut dilarang masuk ke negara-negara Islam pada saat itu sehingga menimbulkan deficit perdagangan bagi negara pengekspor.


Menoleh ke masa lalu, jika anda hubungkan dengan Asia Tenggara, anda mungkin tahu tentang factor yang menimbulkan perang saudara. Pada saat itu, peluru senapan dibuat di Eropa dan diangkut ke belahan Benua melalui jalur laut. Perjalanannya memakan waktu berbulan-bulan hingga mencapai tempat tujuan sehingga bubuk mesiu yang ada di dalamnya Mengalami kerusakan karena terkena air laut.


Kemudian mereka punya ide untuk melapisi peluru tersebut dengan lemak babi. Lapisan lemak tersebut harus digigit dengan gigi terlebih d! ahulu sebelum digunakan. Saat berita mengenai pelapisan tersebut tersebar dan sampai ke telinga tentara yang kebanyakan Muslim dan beberapa Vegetarian (orang yang tdk makan daging), maka tentara-tentara tersebut menolak berperang sehingga mengakibatkan perang saudara (civil war) Negara-negara eropa mengakui fakta tersebut dan kemudian menggantikan penulisan lemak babi dalam kemasan dengan menuliskan lemak hewan. Semua orang yang tinggal di Eropa sejak tahun 1970 - an mengetahuinya.


Saat perusahaan produsen ditanya oleh pihak berwenang dari negara Islam mengenai lemak hewan tersebut, maka jawabannya bahwa lemak tersebut adalah lemak sapi & domba, walaupun demikian lemak-lemak tesebut haram bagi muslim karena penyembelihan hewan ternak tersebut tidak mengikuti syariat islam. Oleh karena itu produk dengan label baru tersebut dilarang masuk ke negara-negara islam.


Sebagai akibatnya, perusahan-perusaha produsen menghadapi masalah keuangan yang sangat serius karena 75% penghasilan mereka diperoleh dengan menjual produknya ke Negara islam, dimana laba penjualan ke negara islam bias mencapai milliard dolar. Akhirnya mereka memutuskan untuk membuat kodifikasi bahasa yang hanya dimengerti oleh Badan POM sementara orang awam tidak mengetahuinya.


Kode tersebut diawali dengan kode E-CODES. E-INGREDIENTS ini terdapat di banyak produk perusahaan multinasional termasuk pasta gigi, sejenis permen karet, cokelat, gula-gula, biscuit, makanan kaleng, buah-buahan Kalengan dan beberapa multi vitamin dan masih banyak lagi jenis produk makanan & obat-obatan lainnya. Semenjak produk - produk tersebut di atas banyak dikonsumsi oleh negara-negara muslim, kita sebagai masyarakat muslim tidak terkecuali sedang menghadapi masalah penyakit masyarakat yakni hilangnya rasa malu, kekerasan dan seks bebas (kumpul kebo).


Oleh karenanya, saya mohon kepada semua umat islam untuk memeriksa terlebih dahulu bahan-bahan produk yang akan kita konsumsi dan mencocokannya Dengan daftar kode E-CODES berikut ini. Jika ditemukan kode-kode berikut ini dalam kemasan produk yang akan kita beli, maka hendaknya dapat dihindari karena produk dengan kode-kode tersebut di bawah ini diperkirakan mengandung lemak babi :

E100, E110, E120, E-140, E141, E153, E210, E213, E214, E216, E234,E252,E270, E280, E325, E326, E327, E337, E422, E430, E431, E432, E433, E434, E435, E436, E440, E470, E471*, E472*, E473, E474, E475, E476, E477, E478, E481, E482,E483, E491, E492, E493, E494, E495, E542, E570, E572, E631, E635, E904.

*Untuk E471 dan E472 ada yang bahannya halal karena menggunakan lemak nabati, jadi tidak semua yang menggunakan kode ini haram. Namun perlu dicermati bagi para produsen makanan, sebaiknya mencantumkan keterangan tambahan setelah kode E471 dan E472 dengan lemak nabati

Adalah tanggungjawab kita bersama untuk mengikuti syari'at Islam dan juga memberitahukan informasi ini kepada sesama muslim lainnya.

Semoga manfaat, M. Anjad Khan, Medical Research Institute United States

Sumber: http://www.eramuslim.com/suara-kita/suara-pembaca/kode-lemak-babi.htm

23 March 2011

Biografi TGH. Muhammad Zainuddin Arsyad

Masa Kecil
Mungkin tidak banyak yang mengenal sosok seorang ulama sufi ini, tetapi tidak bisa dipungkiri ulama inilah yang juga telah banyak berjasa dalam mengembangkan ajaran Islam di pulau Lombok.

Dialah Muhammad Zainuddin, nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya sejak lahir sekitar tahun 1912 di Desa Mamben Lauq, Kecamatan Wanasaba, Kabupaten Lombok Timur-NTB. Ayah beliau bernama TGH. Arsyad, yang saat itu menjadi penghulu (tokoh agama. Dan ibunya bernama Inaq Makenun. Kehidupan keluarga beliau cukup sederhana dan agamis.

TGH.M. Arsyad, selain sebagai seorang tokoh agama, juga pada waktu itu sangat gigih menentang penjajahan Jepang di Indonesia. Sehingga beliau bersama santrinya memimpin langsung penyerangan ke markas Jepang yang terletak di Wanasaba-Lombok Timur, yang menyebabkan salah seorang santrinya gugur di medan pertempuran.

Seperti kebanyakan anak lainnya, beliau tumbuh dan berkembang secara wajar. Dari masa kanak-kanak, Zainuddin kecil dalam pergaulannya sehari-hari selalu mencerminkan sifat-sifat terpuji, hormat terhadap orang yang tua, dan sopan kepada sesama. Tidak heran, ketika masa kecilnya banyak orang yang sayang pada dirinya.

Karena mendapat pendidikan agama sejak dini, membuat sifat dan sikap kepemimpinannya sudah mulai nampak terutama dalam pergaulannya sehari-hari, sesuai dengan ajaran agama Islam yang diyakini kebenarannya.

Ketika usia Zainuddin menginjak empat tahun, beliau diasuh oleh Amak Ismail dan Inaq Isah yang sekaligus sebagai orang tua angkatnya. Karena pada saat itu, kedua pasangan ini belum dikaruniai seorang anak. Kendati demikian, Zainuddin kecil sudah dianggap sebagai anaknya sendiri.

Berada di buaian dan belaian kasih sayang orang tua angkat, tidak serta merta beliau di lepas begitu saja oleh TGH.M. Arsyad. Dengan penuh rasa kasih sayang, beliau dididik dengan ajaran agama. Sehingga orang tua beliau memiliki peran ganda, yaitu disatu sisi sebagai orang tua, dan disisi lain sebagai sosok guru yang sangat dihormati.

Mendapat pendidikan dari sang ayah yang cukup disiplin, membuat sosok Zainuddin kecil cukup cerdas, jujur, rendah hati baik budi pekertinya dan semakin nampak jiwa kepemimpinannya, walaupun diusia yang masih belia.

Menuntut Ilmu ke Negeri Makkah

TGH. M. Arsyad sendiri memiliki beberapa orang putra dan putrid. Salah satu diantaranya adalah Muhammad Zainuddin, yang ketika menginjak usia 6 tahun, atau sekitar tahun 1920, sang ayah dan bunda memutuskan untuk mengirim anaknya ke Makkah Al-Mukarromah untuk menimba ilmu agama. Keberangkatan beliu menuju Makkah didampingi oleh ayahanda TGH. M. Arsyad. Konon, beliau sempat digendong oleh orang tuanya ketika berangkat meninggalkan rumahnya menuju Makkah Al-Mukkaromah.

Di usia 6 tahun dan tinggal bersama orang-orang yang belum begitu dikenalnya, hidup jauh dari kampung halaman, sanak dan saudara, merupakan sebuah pengalaman yang cukup berharga. Pada masa usia belia seperti itu, sebenarnya masih membutuhkan bimbingan dan dampingan dari orang tua. Namun berbeda dengan Zainuddin, masa-masa senangnya bermain harus berpisah sementara dengan semua orang yang dicintainya.

Setelah Sampai di kota suci, TGH.M. Arsyad, langsung mencari sebuah pemondokan untuk anak kesayangannya. Dan Zainuddin kecil dipondokkan di rumah salah seorang Syeikh Ali Mukminah dan menuntut ilmu di Madrasah Darul Ulum.

Apa yang dilakukan oleh Muhammad Zainuddin selama di Makkah Al-Mukarromah? Ternyata tidak banyak yang mengetahui. Karena selama hidupnya, ia tak pernah menceritakan kepada siapapun apa saja yang dilakukan ketika berada di tanah suci Makkah, karena takut kalau ia menceritakan hal tersebut akan menjadi kesombongannya.

Namun kalau dilihat dari peuturan dari beberapa sumber terpercaya, ketika beliau di Makkah tidak diragukan lagi, bahwa M. Zainuddin merupakan orang yang cerdas. Bahkan dalam usia 15 tahun ia mampu menghafal Al-qur’an 30 juz.

Tidak ada waktu yang digunakan oleh beliau kecuali belajar dan belajar. M. Zainuddin adalah alumnus Madrasah Darul Ulum Makkah Al-Mukkarromah yang mendapatkan predikat ‘Mumtaz’ dari para masyaikhnya.

Pada waktu itu, Darul Ulum merupakan madrasah yang banyak diminati oleh orang Indonesia. Dianatara masyaikhnya tyeng terkenal adalah Syeikh Muhammad Basuni Asy-Syafi’i, yang masih keturunan silsilah dari Imam Syafi’i dan Syeikh Muhammad Yasin Padang. Syeikh Muhammad Yasin Padang adalah guru sekaligus teman bagi M. Zainuddin.

Darul Ulum terletak di sebuah perkampungan yang diberi nama Jarwal, lebih kurang 1 kilometer dari Masjidl Haram. Namun kini Darul Ulum sudah tidak bisa didapatkan lagi karena diambil alih oleh Pemerintah Arab Saudi.

Dimimpikan Ibu Angkat

Setelah tinggal beberapa lama di kota Makkah Al-Mukarromah, Zainuddin tentu sewaktu-waktu merindukan kampung halamanya. Demikian juga dengan sang ibu angkat beliau. Bahkan suatu malam, Inaq Ismail yang mengasuhnya sejak kecil memimpikan Zainuddin yang sedang menimba ilmu di kota suci, sedang ayik bermain layang-layang. Namun tiba-tiba benang layangan yang dipegangnya putus. Dan layang-layang itupun terbang sangat tinggi.

Mimpi yang sama dialami oleh sang ibu angkatnya ini berulang sampai tiga kali. Dan muncullah rasa kasih sayang sekaligus kekhwatiran terhadap anak yang diasuhnya sejak kecil. Perasaan tidak tenang, hatipun melayang memikirkan apa tabir dari mimpinya itu. Mungkinkah itu hanya sebuah mimpi belaka atau memang ada tabir dibalik mimpi yang terjadi berulang kali itu.

Karena merasa cemas dan tidak tahan, akhirnya mimpi itupun diceritakan kepada sang suaminya Amak Ismail. Dan tentu saja sang ayah angkatpun tidak mampu mentakwilkan mimpi sang istri, sehingga apa yang menggangu pemikirannya saat itu diceritakan langsung kepada ayah Zainuddin yaitu TGHM. Arsyad.

Mendengar cerita mimpi dari ibu angkatnya ini, TGHM. Arsyad membuat sepucuk surat untuk dikirim kepada anak belahan jiwanya di Makkah Al-Mukarromah, yang isinya menanyakan tentang kabar berita di Makkah.

Selang beberapa minggu, surat balasanpun dikirim oleh Zainuddin kepada keluarga di Mamben Lauq. Dalam surat balasannya beliau menceritakan, bahwa baru saja dirinya mengalami sebuah musibah, yaitu jatuh dari sebuah tangga bangunan dari lantai atas. Namun kejadian yang menimpa, tidak sampai dirinya mengalami luka parah, kecuali beberapa bagian anggota tubuhnya yang masih merasa sakit.

Musibah yang menimpa diri Zainuddin, ternyata tidak mengendurkan semangat dan tekadnya untuk terus belajar dan mendalami ilmu agama, hingga tanpa terasa beliau sudah tinggal di Makkah selama 20 tahun, dan menunaikan ibadah haji, sehingga nama beliau dikenal dengan Ustadz H. Muhammad Zainuddin Arsyad.

Kembali Ke Kampung Halaman

Sekitar tahun 1938, dimana ketika itu bangsa Indonesia masih dijajah oleh Belanda, Ustadz HM. Zainuddin Arsyad, memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Desa Mamben Lauq, setelah bermukim selama kurang lebih 20 tahun di kota Makkah.

Usia beliau ketika itu masih terbilang remaja yaitu 26 tahun. Selama ustadz muda ini berada di tanah suci, disamping memperdalam ilmu agama Islam, juga memperdalam ilmu bahasa Arab atau Nahu Sharaf, lebih-lebih bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi sehari hari adalah bahasa Arab. Selain itu, beliau juga belajar ilmu tafsir, tashawwuf, tauhid, fiqih dan ilmu-ilmu lainnya.

Dengan penguasaan bahasa Arab serta lamanya bermukim di Makkah, membuat sosok ustadz muda atau ini melupakan bahasa asal kelahirannya. Tidak heran, ketika beliau baru pulang dari Makkah, bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dengan keluarga dan tetangga adalah Bahasa Arab.

Al-marhum TGH. Abdul Manan, pernah menuturkan, sepulang H.M. Zainuddin Arsyad dari Makkah, bahasa komunikasi yang digunakan adalah bahasa Arab, baik terhadap teman maupun terhadap para tamu yang berkunjung ke rumahnya.

Melihat bahasa komunikasi yang demikian, membuat keluarganya waktu itu, sedikit agak bingung, karena sebagian teman dan sahabatnya tidak mengerti apa yang diungkapkan oleh beliau. Dan hal inilah yang menimbulkan sedikit miskomunikasi. Dan konon kebiasaan menggunakan bahasa Arab dalam berkomunikasi sehari hari berlangsung hingga berbulan-bulan.

Akibatnya, muncul asumsi sebagian orang saat itu, yang menganggap Tuan Guru Bajang ini sengaja menggunakan bahasa Arab. Dan tidak sedikit juga yang mencemohkan bahkan mengejek beliau. Namun semua itu ditemia dengan penuh lapang dada dan kesabaran. Sebab bagi dirinya, hal itu bukan unsur kesengajaan, namun karena bahasa sehari-hari, ketika beliu bermukim di tanah suci.

Setelah hampir satu tahun menetap di Desa Mamben, akhirnya bahasa daerahpun mulai digunakan sedikit demi sedikit, sehingga lambat laun menjadi lancar.

Membantu Orang Tua Berdakwah

Tuan Guru H.M.Zainuddin Arsyad merupakan alumunus Madrasah Darul Ulum, Makkah Al-Mukarromah yang mendapatkan predikat Mumtaz dari para masyayikhnya. Pada waktu itu, Darul Ulum merupakan madrasah yang banyak diminati oleh orang Indonesia, diantara masyayikhnya yang terkenal adalah Syekh Muhammad Yasin Padang. Syekh Yasin Padang adalah guru sekaligus teman bagi M.Zainuddin. Darul Ulum terletak di sebuah perkampungan yang diberinama Jarwal kurang lebih 1 km dari Masjidil Harom. Namun, kini Darul Ulum sudah tidak bisa didapatkan lagi karena diambil alih oleh pemerintah Arab Saudi.

]Pada tahun 1930, TGH.M.Zainuddin Arsyad memutuskan kembali ke tanah air tempat kelahirannya guna mengajarkan masyarakat yang bodoh terhadap agama pada waktu. Menurut sesepuh masyarakat desa Mamben Lauk, ketika kembali ke tanah air beliau sama sekali tidak bisa berbahasa Sasak ataupun Indonesia, beliau hanya menggunakan bahasa Arab. Namun karena kecerdasannya, tidak dalam waktu yang lama beliau sudah fasih bahasa sasak dan Indonesia.

Saat kembali ke tanah air, TGH.M.Zainuddin Arsyad sangat prihatin melihat kondisi masyarakat pulau Lombok yang pada waktu itu masih banyak yang tidak paham dengan agama Islam, Sehingga beliau membentuk sebuah pengajian kecil-kecilan di rumah beliau.

Melihat kesibukan orang tuanya, TGH.M.Arsyad sibuk dalam melakukan dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat, maka terbetiklah niat sucinya untuk membantu sang orang tua tercinta dalam menjalankan misi dakwah. Misinya ini diawali dengan mendirikan sebuah tempat pengajian atau majlis ta’lim. Di tempat inilah, Ustadz H.M. Zainuddin Arsyad mulai mengajar membaca Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama, seperti fiqih, bahasa Arab, Tauhid, Tafsir dan lain-lainnya.

Melihat kegigihan putranya dalam mensyi’arkan Islam, TGHM. Arsyad tentu sangat bersyukur kehadhirat Allah SWT. Bahkan tuan guru muda ini sering mengganti sang orang tua untuk memberikan ceramah-ceramah agama kepada jama’ahnya. Biasanya saat itu, khususnya masyarakat Desa Mamben Lauq, sering mengundang penceramah atau tuan guru dari Masbagik.

Namun setelah pulang dari tanah suci, beliau rutin mengisi ceramah agama di Mamben Lauq dan sekitarnya, sampai beliau diberi gelar oleh jama’ah adalah Tuan Guru Bajang. Hal ini didasari oleh penilaian jama’ah, karena beliau dipandang memiliki kecakapan ilmu khususnya di bidang Agama Islam.

Gelar Tuan Guru, khususnya di Lombok, merupakan sebuah gelar yang diberikan oleh masyarakat, bukan karena pendidikannya yang tinggi, namun karena dinilai telah banyak menguasai ilmu-ilmu agama Islam. Dan gelar inipun tidak diberikan pada sembarangan orang.

Menyebarkan Syi’ar Islam

Setelah kembali ke tanah air, TGH. M. Zainuddin Arsyad merasa prihatin melihat kondisi masyarakatar Pulau Lombok yang masih banyak belum memahami dengan baik agama Islam. Sehingga dia membentuk sebuah pengajian kecil-kecilan di rumahnya.

Namun dia juga melihat kondisi masyarakat yang ada di pesisir pantai, yang masih banyak belum memehami ajaran Islam yang sebenarnya. Untuk itu, dia memutuskan untuk melakukan misi dakwah ke daerah-daerah pesisir pantai Pulau Lombok, terutama bagi penduduk yang dianggap terisolir dan jauh dari dakwah Islam, bila dibandingkan dengan wilayah perkotaan.

Salah satu jasa besar yang ditinggalkan bagi jama’ah adalah, keberhasilan beliau mendirikan sebuah organisasi keagamaan, yang kemudian dikenal dengan nama Yayasan Pondok Pesantren Maraqitta’limat, yang berarti tangga pendidikan.

Hal ini diperkuat oleh putra beliau, TGH. Hazmi Hamzar, bahwa kegiatan dakwah yang dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan kepada masyarakat pesisir mulai dari ujung timur (Kabupaten Lombok Timur-red) hingga ke pesisir utara Pulau Lombok, seperti Bayan, Panggung hingga Sidutan, Kabupaten Lombok Utara.

Dari pesisir wilayah Utara, beliau melanjutkan misi dakwahnya ke Selatan, tepatnya di Bongor Kabupaten Lombok Barat.

Beberapa tokoh masyarakat menuturkan, disamping beliau menggunakan metode pendekatan, juga misinya ini diiringi dengan berdagang keliling, menelusuri pinggir pantai di Pulau Lombok. Selain itu strategi yang dikembangkan adalah menghargai adat dan kebiasaan masyarakat setempat. Artinya tidak serta merta menghapus atau melarang adat dan kebiasaan masyarakat, kendati dinilai bertentangan dengan ajaran Islam.

Kebiasaan masyarakat yang dimaksud adalah meminum-minuman keras, seperti tuak, Berem atau sejenisnya. Kebiasaan lainnya yang dilakukan oleh masyarakat adalah membunyikan gamelan, walaupun waktu sholat tiba.

Beliu maklum, bahwa tempatnya berdakwah adalah orang-orang yang masih buta dalam ajaran agama Islam. Begitu juga dengan adat-istiadat yang masih kuat dipegang teguh oleh masyarakat seperti Wetu Telu di Bayan.

Dalam perjalanannya, beliau selalu melakukan silaturrahmi kepada para tokoh, baik tokoh adat yang dituakan oleh masyarakat setempat, maupun tokoh-tokoh agama. Beliau pertama-tama mengajarkan tentang keimanan kepada Allah SWT. Barulah setelah itu jama’ahnya diajarkan cara-cara beribadah.

Jujur, sopan dan santun serta dengan penuh kesabaran, berusaha memberikan pemahaman terhadap para santrinya. Pelan namun pasti, berkat kegigihannya dalam menjalankan misi dakwah ini, lambat laun banyak masyarakat yang sadar akan dirinya, bahwa bahwa kehidupan yang jauh lebih kekal dan abadai adalah kehidupan akhirat.

Satu contoh misalnya, beliau memperbolehkan masyarakat membunyikan alat-alat musik tradisional seperti gamelan. Namun beliu menyarankan, ketika tiba waktu sholat, bunyi-bnyian tersebut dihentikan, dan berkumpul menunaikan sholat secara berjama’ah.

Cara seperti ini, tidak jauh berbeda dengan misi dakwah yang dilakukan oleh para Wali Songo di Pulau Jawa.


Berniaga

Bila ditelusuri lebih jauh tentang pola kehidupan TGH.M. Zainuddin Arsyad, tentu kita akan berdecak kagum. Sederhana dan bersahaja, demikianlah yang tampak pada sosok Tuan Guru Sufi ini. Kesederhanaan itu dapat dilihat dalam menjalankan misi dakwahnya. Di satu sisi, beliau adalah da’I, tapi disisi lain, beliau adalah seorang pedagang keliling dari satu kampung ke kampung lainnya.

H. Hasan Nasrin, salah seorang tokoh Maraqitta’limat Kecamatan Bayan menuturkan, berdagang yang dilakukan oleh TGH.M.Zainuddin Arsyad, bukan sebagai tujuan utama, namun itu merupakan sebuah alat untuk berda’wah di tengah-tengah masyarakat.

Dagangan yang dibawa setiap kali menjalankan misi dakwahnya adalah, garam, kedelai, bawang merah, bawang putih, cabe, kapuk dan pakaian. Barang dagangan ini diambil dari mitra usahanya untuk dibawa keliling, mulai dari labuhan Lombok, Sambelia, Belanting, Obel-Obel, Bayan, Santong, Panggung, Sidutan hingga ke Sembalun.

Barang dagangannya kerap kali ditukar dengan hasil-hasil bumi para petani. Kegiatan berdakwah sambil berdagang terus dilakukan, sehingga di beberapa tempat didirikan musalla, masjid atau madrasah, sebagai tempat membina umat.

H. Lalu Akar, mantan pengurus Yayasan Maraqitta’limat mengatakan, bahwa sekitar tahun 1941, beliau sudah mulai masuk ke Dayan Gunung atau sekarang sudah menjadi sebuah kabupaten baru yaitu Lombok Utara.

Kedatangan beliu pertama kali di Bayan, disambut oleh Endi Abdul Gani, salah seorang keturunan Bugis-Makasar yang tinggal di Desa Sukadana Kecamatan Bayan. Konon pertemuan beliau dengan Endi Abdul Gani tanpa disengaja ketika sedang berdagang di Dusun Panggung Desa Selengen.

Kebetulan pada saat itu, TGH.M. Zainuddin Arsyad menjual garam, sementara Endi Abdul Gani sebagai pembeli. Di saat terjada tawar menawar harga garam, Endi Abdul Gani mengaku heran, karena sang si penjual (TGH.M. Zainuddin Arsyad-pen) bukan menawarkan dengan harga tinggi, namun malah sebaliknya.

Karena kejadian tersebut, pembicaraan antara pedagang dan pembeli inipun berlanjut dan saling memperkenalkan diri. Endi Abdul Gani pun mengajak beliu ke rumahnya di Gubug Bangsal-Telaga Begek Desa Sukadana.

Sikap sopan dan rendah hati, bertutur bijaksana dan bertingkah santun. Inilah ditunjukkan ketika bertamu di rumah Endi Abdul Gani, membuat sang pemilik rumah semakin kagum, dan persahabatan mereka berduapun berlanjut. Demikian juga dengan hubungan kegiatan jual beli terus terjalin. Bak gayung bersambut, dari rumah sahabatnya inilah, beliau mulai lakukan dakwah Islam, yang lambat laun terus mengalami kemajuan.

Dan bila waktu sholat tiba, tidak lupa, beliau mengajak sahabatnya untuk menunaikan sholat secara berjama’ah, disebuah masjid kecil dan sederhana, yaitu masjid Panji Islam, yang dibangun orang Endi Abdurrahman yang berasal dari Pulau Sumbawa.

Berdakwah Dari Rumah ke Rumah

Persahabatan yang terjalin antara kedua hamba Allah (TGH.M. Zainuddin Arsyad dan Endi Abdul Gani-pen) semakin hari semakin erat. Dan setiap kali beliu datang, selalu diminta untuk memberikan sekedar ceramah agama. Namun demikian, sang sahabat Endi Abdul Gani, sedikitpun tidak tau, bahwa yang sering datang bertamu ke rumahnya adalah salah seorang ulama Sufi yang telah lama menempa ilmu di negeri Makkah Al-Mukarromah.

Setelah masing-masing menceritakan sejarah hidupnya, barulah Endi Abdul Gani, yang ketika itu sebagai kepala kampong (matua) menyadari bahwa, sahabatnya itu adalah orang yang memiliki ilmu agama yang mumpuni, dan patut sebagai tempat belajar memperdalam ilmu agama Islam.

Tidak heran, bila kedatangan sang shabat karibnya yang tiada lain adalah TGH. M. Zainuddin Arsyad selalu ditunggu-tunggu oleh Endi Abdul Gani bersama jama’ah lainnya. Kedatangan beliau tidak pernah disia-siakan. Endi Abdul Ganipun menyarankan kepada TGH. M. Zainuddin Arsyad, untuk sementara kegiatan dakwah dilakukan dari rumah ke rumah, atau menghindario berdakwah di tempat umum seperti masjid ataupun musalla.

Saran ini dikemukakan bukan tanpa alasan, namun karena mengingat kondisi masyarakat pada saat itu masih memliki keyakinan yang kuat khususnya tentang adat-istiadat Wetu Telu. Saran dan masukan dari sahabatnya inipun diterima.

Dalam menjalankan dakwahnya, Endi Abdul Gani selalu membantu beliau untuk mendatangi warga sambil membawa dagangannya. Bahkan, TGH.M. Zainuddin seringkali menginap di sebuah kampung Bugis di Labuhan Carik Desa Anyar. Dan ditempat terdapat sebuah Sekolah Rakyat (SR).

Labuhan carik tempat beliu bermukim, memiliki sejarah tersendiri, yang konon pada saat penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh para Wali Songo, ditempat inilah berlabuhnya kapal mereka.

Sementara kegiatan dakwah di wilayah Panggung Desa Selengen dan sekitarnya dilakukan secara terus menerus, sehingga didirikanlah sebuah musalla pertama di dusun tersebut, sebagai tempat untuk mengumpulkan jama’ah yang mau belajar ilmu agama.

Lalu Hasan BA, salah seorang mantan camat Bayan menuturkan, kegiatan dakwah Islam yang dilakukan oleh TGH. M. Zainuddin Arsyad, khususnya di Dayan Gunung, pada masa kedistrikan Raden Kertapati.

Melihat dakwah Islam semakin berkembang di Bayan, membuat sebagian masyarakat menaruh rasa dendam, bahkan mengalami tekanan dari masyarakat sekitar. Ini terjadi, karena sebagian masyarakat menilai, dengan berkembangnya dakwah Islam di Bayan, akan dapat merusak keyakinan terutama tentang adat-istiadat yang diwariskan dari nenek moyang mereka. Padahal pada faktanya, selama melakukan misi dakwah di Bayan, sedikitpun tidak pernah terdengar kabar, kalau dirinya menyinggung persoalan adat-istiadat.

Salah satu bentuk tekanan yang dilakukan oleh sebagian mereka adalah memutuskan hubungan jual-beli barang. Dan inilah salah satu cara menghentikan dakwahnya. Hal ini terjadi bukan saja terhadap dirinya, namun juga terhadap pengusaha yang berasal dan Mamben-Lombok Timur.

Tekanan seperti ini tidak berlangsung lama, karena pada akhirnya masyarakat setempat menyadari, bahwa TGH. M. Zainuddin Arsyad dalam berdakwah tidak pernah menyinggung masalah adat-istiadat yang berkembang di masyarakat.

Kegiatan dakwah yang dijalankan oleh Ulama Sufi yang memiliki enam orang putra ini, tampaknya membuahkan hasil yang cukup menggembirakan. Demikian juga dengan klegiatan yang dilakukan di Sembalun Lawang dan Bumbung, yang masyarakatnya tidak jauh berbeda dengan masyarakat di Bayan kala itu.

Di Sembalun, ketika beliau datang untuk berdakwah sangat jarang ditemukan masyarakatnya yang menjalankan ibadah sholat lima waktu. Kondisi ini tidak menyurutkan semangat perjuangannya dalam mendakwahkan ajaran Islam yang sempurna. Melalui pendekatan jual-beli barang, sang Tuan Guru muda ini sedikit demi sedikit memberikan pelajaran kepada setiap orang yang ditemuinya di Sembalun.

Awalnya, memang banyak menolak ketika diajak menunaikan sholat dengan berbagai alasan. Ada yang beralasan tidak memilki pakaian, dan ada juga yang memang benar-benar tidak mengetahui tata cara melaksanakan ibadah shalat.

Memberikan sesuatu kepada orang yang membutuhkan merupakan perbuatan amal yang sangat mulia. Inilah yang ditunjukkan oleh TGH. M. Zainuddin Arsyad. Bagi masyarakat yang beralasan tidak memiliki pakaian, diberikan secara cuma-cuma asalkan mereka mau mengerjakan sholat. Dan bagi mereka yang belum mengerti cara beribadah, beliau ajarkan dengan penuh lemah-lembut dan sabar, sampai orang tersebut bisa beribadah.

Perjalanan dakwah beliau ke berbagai pelosok wilayah terpencil, bukan berjalan mulus, namun penuh dengan tantangan, dari orang-orang yang memang tidak suka terhadap ajaran Islam yang kaffah. Bahkan ada juga yang melempari dan ingin membunuhnya.

Sekali melangkah kedepan, pantang untuk mundur ke belakang. Itulah mungkin salah satu tekad beliau dalam menyebarkan kebenaran yang datangnya dari Allah SWT. Tantangan dan rintangan dijadikan sebuah pelajaran berharga sekaligus menguatkan tekad dan semangat dalam mensyi’arkan Islam.

Berkat kegigihannya berdakwah, sehingga menghasilkan kader-kader yang mumpuni dibidangnya. Kegiatan dakwah ini dilakukan mulai dari Desa Mamben Lauq dan Mamben Daya, Sembalun, Sajang, Sambelia, Obel-Obel, Bayan sampai Bongor Lombok Barat serta desa-desa lainnya.

Menurut penuturan salah seorang jamaah Yayasan Maraqitta’limat Bayan, TGH.M.Zainuddin Arsyad adalah salah seorang ulama yang santun dan penyabar. Bahkan beliau sering memberikan pinjaman uang kepada msyarakat yang membutuhkan. Beliau tidak segan-segan membebaskan hutang kepada seseorang apabila orang tersebut mau menjalankan syariat islam sepenuhnya. Melihat akhlak beliau yang seperti itulah akhirnya banyak masyarakat berbondong-bondong m,enyatakan diri masuk ke dalam agama islam. Di mana beliau singgah melakukan misi dakwah, disitulah beliau mendirikan madrasah-madrasah sebagai tempat mengaji bagi masyarakat.

Merintis Pondok Pesantren Dan Yayasan Maraqitta’limat

Selain melakukan dakwah keliling, TGH. M. Zainuddin Arsyad juga merintis sebuah Majlis Ta’lim Darul Ulum. Majlis ta’lim inilah cikal bakal berdirinya Pondok Pesantren (Ponpes) Yayasan Maraqitta’limat.

Di Majlis Ta’lim Darul Ulum, beliu mengajar santrinya berbagai disiplin ilmu agama. Kitab-kitab yang diajarkan antara lain, Ma’abadil Fiqih, Nahu Wadhih, Badrun Munir, Lughotul Arabiyah, Nahu Shoraf, Fathul Qarib, Tariqatul Islam, Tariqotul Hadiah, Ilmu Mantiq, Tafsir Al-Qur’an dan kitab-kitab lainnya.

Perkembangan Majlis Ta’lim yang dibinanya semakin hari terus mengalami kemajuan yang cukup signifikan, sehingga tempat belajarnya tidak mampu lagi menampung para santri yang berdatangan menuntut ilmu.

Melihat kondisi tersebut, beberapa tokoh masyarakat menyarankan agar mendirikan tempat belajar yang lebih luas dan layak. Untuk menampung para santri, pada tahun 1950, lokasi belajarnya dipindahkan ke sebuah musalla yang lebih luas yaitu musalla yang dibangun oleh Amak Sadar dan warga setempat, yang belakangan dikenal dengan Diniyah Islamiyah.

Adapun santri pertamanya antara lain, H. Abu Bakar, Amak Mukenah, Ustazd H. Farhan, H. Badarudin, H. Marzuki, H. Halil-Ladon, H. Rusli, Amaq Suarno, Amaq Husnah, Amaq Erah, Amaq Haderi, Amak As’ad, Inaq Wasifah dan lain-lain.

Para santri ini dibina untuk menjadi guru bagi genarasi berikutnya, sehingga tampil beberapa orang diantara mereka, disamping sebagai santri sekaligus bertindak sebagai pendidik.

Santri yang berhasil dididik pada tahap kedua, antara lain, H. Abdul Manan, Saleh Rihin, H. Ahyar )Mamben Daya) H. Arsyad (Lendang) dan beberapa santri lainnya. Disusul lagi dengan santri tahap III, yaitu, Amaq Saleh AM, Amaq Sa’adah, Amaq Hirpan, Amaq Sulhan, Siderah, Hurnaen, H. Maksum, dan H. Yasin.

Semakin banyaknya masyarakat yang mengaji kepada beliau, akhirnya pada tahun 1952 TGH.M.Zainuddin Arsyad bersama rekan-rekannya mendirikan sebuah pondok pesantren yang diberinama Pondok Pesantren Maraqitta’limat. Maraqitta’limat memiliki arti tangga pendidikan. Pondok Pesantren Maraqitta’limat berlokasi di desa Mamben Lauk, Kecamatan Wanasaba, Lombok timur, NTB yang pada akhirnya ponpes ini memiliki beberapa cabang yang tersebar di seluruh wilayah pulau Lombok bahkan luar dari pulau Lombok seperti Sumbawa, Makassar, dan Sulawesi Selatan.

Pada tahun 1964, TGH.M.Zainuddin Arsyad membentuk sebuah yayasan yang diberinama juga Yayasan Maraqitta’limat. TGH.M. Zainuddin Arsyad bertindak selaku ketua umum yayasan dan sekretarisnya adalah ust.H.Abdul Mannan. Yayasan Maraqitta’limat bergerak di bidang pendidikan, sosial dan dakwah.

Kegigihan beliau dalam melakukan pengkaderan patut menjadi contoh bagi generasi mendatang. Beliau tidak pernah mengenal lelah demi meraih cita-cita, yakni membumikan ajaran Islam yang satu-satunya di ridlai Allah SWT.

Kepedulian beliau dalam pendidikan umat, di samping melalui majlis ta’lim, juga melalui lembaga pendidikan formal dibawah naungan Yayasan Maraqitta’limat. Dari majlis ta’lim dan lembaga pendidikan inilah beliu bertujuan membentuk kepribadian manusia yang bertanggung jawab untuk membangun nusa, bangsa dan agama yang berpedoman pada Kitabullan dan Sunnah Rasulullah.

Kaitannya dengan menuntul ilmu, beliau menuangkan dalam pemikiran filosofisnya dengan mengutip penggalan ayat suci Al-Qur’an, yang sekaligus sebagai motto dalam mengembangkan lembaga pendidikan, yaitu kalimat : “Subhanalladzi ‘Allama Bil Qolam, ‘Allamal Inssana Malam Ya’lam” .

Proses Pendirian

Proses Pendirian pondok pesantren dan yayasan Maraqitta’limat, memang mengalami perjalanan yang cukup panjang. Dimana proses ini diawali dengan dakwah berkeliling, berdagang serta membangun Madrasah Diniyah Islamiyah. Gagasan pendirian lembaga pendidikan inipun mendapat respon positif dari jama’ah.

Sekitar tahun 1951, beliau melakukan musyawarah dengan para tokoh dan santrinya yang dihadiri langsung oleh ayahanda TGH. M. Arsyad. Beberapa tokoh yang hadir antara lain, HM. Amin, TGH. Mustaqim, Papuk Hayat, H. Halidi, HM. Hamid, H. Baharudin, Guru Nurminah, A. Munaqif, H. Mahmudin dan H. Ridwan.

Musyawarah pertama ini dilanjutkan dengan pertemuan kedua dengan mengundang “Keliang Kampung” atau kepala dusun, seperti H. Mustafa, H. Mukhtar, Anhar, Guru Badar, A. Manan, A. Muhriah, A. Saknah, HM Saleh, A. Kalsum, A. Nasrun, A. Sakrah, A. Erah, A. Saenah dan beberapa tokoh lainnya.

Beberapa saksi yang masih hidup menyebutkan, musyawarah ketika itu sedikit berjalan alot, terutama ketika menentukan sebuah nama lembaga pendidikan. Sebagian perserta mengusulakan nama “Darul Ulum” dan sebagiannya lagi “Maraqitta’limat”.

Sebagian peserta berpendapat, bila lembaga pendidikan diberinama Darul Ulum, itu berarti kita mengambil nama dari sebuah lembaga pendidikan yang terkenal di tanah suci Makkah. Jadi yang paling pas adalah nama Maraqitta’limat. Dan nama inipun disetujui oleh semua peserta musyawarah.

Setelah nama mendapat kesepakatan peserta, kemudian dilanjutkan dengan pendirian Madrasah Ibtidayah pertama yang pembangunannya murni dari swadaya masyarakat. Dalam perjalanan politik Indonesia ketika itu, para pejuang dan pendiri Madrasah ini berhaluan kepada Partai Majlis Syuro Indonesia (Masyumi) yang diketuai KH. Agus Alwi dan Umar Semeq.

Setelah lembaga pendidikan ini berjalan, pada tahun 1959, perjuangan inipun dilanjutkan dengan penyusunan Anggaran Dasar dan Rumah Tangga (AD-ART). Dan pada tahun 1960, pihak pengurus Madrasah melakukan kerjasama dengan pimpinan Muhammadiyah di Masbagek-Lombok Timur, terutama dalam hal pembuatan Akte Notaris yayasan Maraqitta’limat. Dan pada tahun itu, yang menjadi Gubernur NTB adalah Wadita Kusuma, sementara yang menjabat sebagai bupati Lombok Timur Lalu Wildan. Pada tanggal 30 Juni 1964, yayasan Maraqitta’limat pun diresmikan. Hadir dalam peresmian tersebut adalah beberapa tokoh Masyumi dari pusat, seperti KH. Muhammad Hafiz, ormas Islam se Pulau Lombok dan beberapa pejabat pemerintah lainnya.

Dalam melakukan perencaan pembangunan, TGH. M. Zainuddin Arsyad selalu melakukan musyawarah dengan semua pihak, entah itu pengusaha, para tokoh agama, maupun masyarakat.

Menurut beberapa tokoh Maraqitta’limat, dalam melakukan musyawarah beliu menggunakan tiga tahapan. Pertama kali beliau mengundang para pengusaha. Setelah itu baru dikumpulkan para tokoh masyarakat, tokoh agama dan pemuda termasuk pengurus ranting. Kemudian memasuki tahapan ketiga yaitu mengundang para guru. Dengan cara yang demikian, mereka dapat mengemukakan pendapat masing-masing, yang selanjutnya disimpulkan menjadi sebuah rencana yang akan dijalankan oleh semua pihak, sekaligus menyusun panitia pembangunan.

Peran antara pengusaha, tokoh masayarakat, agama dan pemuda serta para guru tentu berbeda. Para pengusaha mengumpulkan biaya pembangunan sarana dan prasarana lembaga pendidikan, sementara para tokoh bertugas mensosialisasikan hasil kesepakatan. Sedangkan para guru berperan untuk mendidik siswa di lembaga pendidikan yang akan didirikan atau dibangun.

Beberapa murid dan sahabatnya pernah menuturkan, bahwa ketika membangunan gedung Madrasah Ibtidaiyah yang pertama di Desa Mamben Lauq Kabupaten Lombok Timur, TGH. M. Zainuddin Arsyad kerap kali menerima kata-kata yang kurang berkenan dihati, yang dilontarkan oleh sebagian masyarakat yang kurang paham akan pentingnya arti sebuah lembaga pendidikan. Bahkan, ketika beliau bersama jama’ah melakukan kegiatan gotong royong, ia dilempar dengan batu dan kotoran.

Namun semua kejadian itu, ia hadapi dengan penuh kesabaran dan menyarankan kepada jama’ah untuk tidak melakukan lemparan balasan. Karena orang yang melakukan hal tersebut dinilai buta walaupun pada mata zhahirnya melihat. Artinya masih buta mata hatinya karena belum mendapat hidayah dari Allah SWT.

Yayasan Maraqitta’limat yang bergerak di bidang dakwah, pendidikan dan sosial kemasyarakatan, terus mengalami kemajuan. Di bidang dakwah misalnya, beliau telah berhasil melakukan pengkaderesasian untuk melanjutkan perjuangannya. Tidak kurang 116 majlis ta’lim didirikan di seluruh Pulau Lombok. Demikian juga dengan lembaga pendidikan dan sosial kemasyarkatan terus megalami kemajuan yang cukup signifikan.

Berpulang Ke Rahmatullah

Di tengah perkembangan Yayasan Pondok Pesantren Maraqitta’limat yang begitu pesat, TGH.M.Zainuddin Arsyad berpulang ke rahmatullah pada tanggal 4 Februari 1991, beliau meninggalkan seorang istri dan 6 orang putra. Sebelum meninggal, beliau menunjuk putra beliau yang ketiga, TGH.Hazmi Hamzar sebagai pengganti beliau.

Muktamar Yayasan Maraqitta’limat mengukuhkan TGH.Hazmi Hamzar sebagai pucuk pimpinan Yayasan pondok Pesantren Maraqitta’limat. Sampai sampai saat ini Yayasan Pondok Pesantren Maraqitta’limat memiliki 19 Madrasah Ibtidaiyah, 3 SD Islam, 17 Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, 2 buah SMU, dan beberapa buah SMK serta 2 buah perguruan tinggi yaitu STIKES dan STKIP Hamzar.

Selain mengelola bidang pendidikan, Maraqitta’limat juga bergerak di bidang dakwah dan social yang ditandai dengan ratusan majelis ta’lim dan berdirinya beberapa pantai Asuhan yang tersebar di berbagai wilayah di provinsi Nusa Tenggara Barat bahkan di luar provinsi NTB seperti Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur.

Di bidang ekonomi, Yayasan Maraqitta’limat memiliki Koperasi Pondok Pesantren Putra Hamzar yang di ketuai oleh H. Mashal, SH.MM (putra TGH.M.Zainuddin Arsyad yang ke-5). Di usia yang ke – 58 Yayasan Maraqitta’limat memiliki berbagai macam program yang harus tuntas di tahun 2010 diantaranya program satu rumah satu sarjana yang mendapat respon positif dari Menteri Agama RI, pendirian Radio Ummat Al-Hamzar, pembentukan Pusat Bimbingan konseling dan sejumlah program lainnya.
Sumber: http://primadonalombok.blogspot.com/

22 March 2011

Biografi Singkat TGH. MUHAMMAD RAIS

Sejarah Hidup (Lahir - Meninggal)

Bila kita pandang wajah ulama besar ini, sepintas kita bisa menarik kesimpulan mengenai kepribadiannya, sorotan matanya yang tajam mengindikasikan sifatnya tegas, bakat ilmunya yang sangat cerdas, tutur bahasanya yang lugas dan kepribadiannya yang menampilkan kesan ikhlas. Itulah TGH. Muhammad Ra`is, ulama besar Sekarbela yang menjadi intan permata bagi masyarakat Sekarbela yang terus bersinar hingga sekarang.

TGH. Muhammad Ra’is di lahirkan di Sekarbela tahun 1855 M, bertepatan dengan tahun 1275 H (yakni 156 tahun yang lalu). Nama aselinya adalah Muhammad Ra`is. Masyarakat Sekarbela lebih akrab menyebutnya TGH. Rais. Di luar daerah Sekarbela, ia pun sering disebut Datuk Sekarbela atau Datuk Ra`is. Ayah beliau bernama H. Toha sedangkan Ibunya bernama Ruga’iyyah. Ra`is kecil lahir dari keluarga yang sederhana. Keta`atan dan ke`aliman ayahnya mengalirkan ketertarikan padanya mendalami pelajaran agama Islam. Pola pendidikan yang telah diterapkan oleh ayahnya yang islami membentuk karakternya yang cukup tegas.

TGH. Muhammad Ra’is menikah sebanyak dua kali. beliau menetap di Pesinggahan kecamatan Mataram. Di Pesinggahan beliau menikah dengan misannya bernama Kibtiyyah. Dan hasil dari pernikahan ini beliau dikaruniai putra dan putri yakni Jamil, Sa’dah dan Subki tetapi semuaya meninggal di usia remaja.

Dari Pesinggahan TGH. Ra’is kemudian pindah ke Sekarbela dan menikah dengan Miwasih. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan 6 orang putra-putri

1. Alm. Ibu Hj. Radmah (istri dari TGH. Jalaludin). Putra beliau yang menjadi penerus adalah TGH. Faqih Farhan.

2. Alm. Mufti (meninggal di usia remaja).

3. Ibu Hj. Wasi’ah (istri dari TGH. Abdurrahman Banjar). Diantara putra-putri beliau yang menjadi penerus adalah Ustad H. Tahmid, Dra.Hj.Nurul Yaqin, M.Pd (Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Matarm), dan Dra.Hj.Warti’ah, M.Pd (anggota DPRD Propinsi NTB).

4. Alm. TGH. Muktamad Ra’is yang meneruskan perjuangan TGH Ra’is. Beliau adalah Mudir ‘Am Pondok Pesantren Al-Raisiyah Sekarbela yang meninggal pada tanggal 20 oktober 2004. Diantara putra beliau yang menjadi penerus adalah TGH. Mashun dan Hj. Husnah Busaini, SPd.

5. Ibu Hj. Fauziah (istri dari TGH. Idhar Karang Anyar) diantara putra beliau yang menjadi penerus adalah TGH. Tanwir dan Drs. H. Wildan (staf ahli Gubernur bidang Pendidikan propinsi NTB).

6. Alm. TGH. Drs. Maqsud Ra’is (Dosen IAIN Sunan Ampel Mataram, meninggal pada tanggal 22 Agustus 1997). Putra beliau yang menjadi penerus adalah TGH. Mujiburrahman (anggota Dewan Perwakilan Rakyat daerah kota Mataram).

Waliyulloh yang dijuluki “bahrul `ulum” ini mangkat pada hari senin tanggal 8 Januari 1967 bertepatan dengan tanggal 8 syawwal 1387 H. dengan demikian usia beliau sewaktu meninggal dunia kira-kira 112 tahun. Menurut penuturan narasumber yang pernah bertemu langsung dengan Maulana Syech TGH. Zainuddin Abdul Majid, diceritakan oleh Maulana Syech bahwa semasa hidup dua ulama besar Lombok itu pernah saling berniat satu sama lain bahwa siapapun yang terlebih dahulu dipanggil oleh Yang Maha Kuasa maka ia harus membaca talqin untuknya. Maka dari itu, ketika waliyulloh dari Sekarbela ini mangkat, TGH. Zainuddin Abdul Majid (Pancor) memberikan penghormatan terakhirnya dengan membacakan talqien dan ayat-ayat Al-Qur`an.

Salah satu bentuk penghormatan masyarakat Sekarbela, namanya diabadikan sebagai nama masjid kebanggaan Sekarbela, Al-Raisiyah. Selain itu, hari mangkatnya selalu diperingati setiap tahun oleh masyarakat Sekarbela. Setelah meninggalnya seorang nuhat dari Sekarbela ini, warisan ilmu agama Islam yang telah ditinggalkannya diteruskan oleh murid-muridnya hingga kini. Meskipun telah berpulang, namun pengaruh dan jasa-jasanya tak kan pernah hilang.

Namanya selalu menghiasi berbagai karya tulis sejarah sasak yang berkaitan dengan pengembangan Islam. Sosoknya selalu disandingkan dengan beberapa ulama terkemuka dari Lombok dari ulama pendahulu dan penerusnya seperti TGH. Musthofa, TGH. Umar Kelayu, TGH. Zainuddin Abdul Majid dari Pancor, yang merupkan sahabat beliau. Sahabat-sahabat beliau yang lain adalah TGH. Saleh Hambali (Bengkel), TGH. Muchtar, TGH. Ibrahim, TGH. Hafiz dan tua guru-tuan gguru lainnya. Ia tercatat sebagai salah satu `alim ulama yang dimiliki oleh masyarakat sasak.

b. Perjalanan Menuntut Ilmu

Perjalanan TGH. Ra`is menuntut ilmu agama telah menempuh jalan yang tidak mudah. Ia telah menuntut ilmu agama hingga di negeri para nabi, Makkah Al-Mukarromah. Pada waktu itu beliau berusia 42 tahun. Dalam usia yang sudah tidak muda ini beliau justru memiliki semangat yang kokoh dan tegar untuk tetap memanfaatkan umur beliau guna menuntut ilmu-ilmu agama. Pengembaraan intelektualnya di negeri para rasul itu berlangsung selama jangka waktu 7 tahun.

Dari 7 tahun masa bermukimnya di Makkah, 4 tahun pertama beliau pergunakan untuk mempelajari serta menguasai ilmu-ilmu bahasa Arab seperti nahwu, syaraf, balagah, arudh wal qowaafi dan mantiq. Hampir ke seluruh desa pelosok di tanah suci ia telusuri demi memperoleh perbendaharaan bahasa yang bagus. Hal ini dikarenakan beliau menyadari bahwa tanpa ilmu-ilmu tersebut yang juga dikenal dengan ilmu alat, maka akan sulitlah bagi seseorang untuk menggali ilmu-ilmu islam seperti tafsir, hadits, fiqih, tauhid, tarikh dan lain sebagainya, karena pada masa beliau ilmu-ilmu tersebut masih tertulis dalam bahasa Arab.

Oleh karena itulah maka selama 3 tahun terakhir beliau tidaklah mengalami kesulitan berarti dalam menghadapi kitab-kitab Arab besar dan mu’tabar, karena alat untuk membaca, mempelajari dan mengkajinya sudah beliau kuasai.

Selama di Makkah beliau berguru kepada TGH. Umar Kelayu Lombok Timur bersama beberapa murid yang lain, diantaranya adalah putra dari TGH. Umar sendiri yang bernama TGH. Badar. beliau pun berguru kepada ulama-ulama besar yang lain, diantarnya adalah Syekh Syu’aib Magriby.

Sebagai hasil dari usaha beliau selama 7 tahun menuntut ilmu di Makkah, berguru kepada TGH. Umar Kelayu dan ulama besar lainnya seperti Syekh Syu’aib Magriby, beliaupun diakui memiliki keahlian dalam banyak bidang ilmu, terutama sekali yang berkaitan dengan ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah dan beberapa cabang ilmu alat lainnya.

c. Peran di Bidang Pendidikan Agama Islam dan Sosial

TGH. Ra’is menaruh perhatian yang besar terhadap pemantapan pengetahuan masyarakat terhadap ajaran agama islam, oleh karena itu ketika beliau menetap di Pesinggahan, beliau membuka majlis pengajia. Di Sekarbela TGH. Ra’is lebih giat lagi melanjutkan dan mengembangkan pengajian-pengajian agama. Tempat beliau biasa mengajar dikenal dengan sebutan Bale Tajuk yag sekarang ini sudah direnovasi.

Murid-murid beliau disamping dari Sekarbela juga datang dari luar Sekarbela, dan kebanyakan murid-murid beliau berhasil menjadi tokoh agama atau tuan guru- tuan guru yang dihormati dan disegani masyarakat.

Diantara murid-murid beliau yang berasal dari Sekarbela yaitu:

1. TGH. Abdurrahman

2. TGH. Thayyib

3. TGH. Tahir

4. TGH. Fadhil

5. TGH. Jabbar

6. TGH. Syafi’i

7. TGH. Moh. Toha

8. TGH. Mustafa Bakri Banjar

9. TGH. Jalaludin

10. TGH. Syafi’i bin Abdurrahman

11. TGH. Marzuki

12. Ust. Abdul Mukti

13. TGH. Fauzi Abdurrahman

14. TGH. Husni Pesinggahan

15. TGH. Mustafa Zuhdi

16. Dan lain-lain.

Sedangkan murid-murid beliau yang dari luar Sekarbela tetapi menetap di Sekarbela selama mengaji diantaranya adalah:

1. TGH. Umar (Kapek)

2. TGH. Mu’in (Kapek)

3. TGH. Najmuddin / Tuan Guru Ocek (Peraya)

4. TGH. Ibrahim (Lombok-Praya)

5. TGH. Muksin (Seganteng)

6. TGH. Saleh (Mamben)

7. TGH. Mustajab (Pagutan)

8. TGH. Arsyad (Pancor Dao).

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

TGH. Muhammad Ra`is adalah ulama besar Sekarbela yang menjadi intan permata bagi masyarakat Sekarbela yang terus bersinar hingga sekarang. TGH. Ra`is menikah sebanyak dua kali. Istri pertamanya bernama Kibtiyyah (Pesinggahan) dan Miwasih (Sekarbela).

Perjalanan TGH. Ra`is menuntut ilmu agama telah menempuh jalan yang tidak mudah. Ia telah menuntut ilmu agama hingga di negeri para nabi, Makkah Al-Mukarromah. Awal perjalanan mulianya di fokuskan untuk memperdalam ilmu kebahasaan (nahwu). Hampir ke seluruh desa pelosok di tanah suci ia telusuri demi memperoleh perbendaharan bahasa yang bagus. Pengembaraan intelektualnya di negeri para rasul itu berlangsung selama jangka waktu 7 tahun. Demi menuntut ilmu, ia pun harus rela berjauhan dan memendam rindu dari seluruh keluarganya.

Salah satu bentuk penghormatan masyarakat Sekarbela, namanya diabadikan sebagai nama masjid kebanggaan Sekarbela, Al-Raisiyah. Selain itu, hari mangkatnya selalu diperingati setiap tahun oleh masyarakat Sekarbela. Setelah meninggalnya seorang nuhat dari Sekarbela ini, warisan ilmu agama Islam yang telah ditinggalkannya diteruskan oleh murid-muridnya hingga kini. Meskipun telah berpulang, namun pengaruh dan jasa-jasanya tak kan pernah hilang.

Sumber :

1. Tulisan saudara Iskandar S.Pd yang berjudul “Mengenal Sekarbela dari Dekat”

2. Tulisan singkat yang didapat dari Perpustakaan Pondok Pesantren Al-Raisiyah yang berjudul “Riwayat TGH. Muhammad Rais Sekarbela”.

Biografi TGH MUHAMMAD NAJMUDDIN MAKMUN

Nama asli beliau adalah MA’ARIF, beliau lahir di kampung Karang Lebah Praya pada tahun 1920 Masehi. Ayahnya bernama TUAN GURU HAJI MAKMUN (wafat tahun 1947 M). Putra dari Abdul Wahid Bin Abdul Karim. Tuan Guru Makmun adalah salah seorang Mursyid Tarekat Qadhariyah wa Naqsabandiyah pada masanya ( wafat bulan Safar 1947 M). Silsilah Tarekat diterima langsung dari guru utamanya yaitu Tuan Guru Haji Muhammad Siddiq Karang Kelok Ampenan, dan Tuan Guru Makmun baru menyatakan dirinya sanggup sebagai guru tarekat setelah 40 kali diminta oleh gurunya untuk mengajarkan kepada orang lain. Pada kali pertama diminta, beliau merasa dirinya kurang pantas menjadi guru tarekat, lalu beliau mohon ma’af kepada gurunya untuk tidak dijadikan sebagai guru tarekat, karena masih banyak orang yang lebih alim dan lebih pantas dari pada dirinya. Alasan ini diterima oleh gurunya. Namun pada kesempatan yang lain, sang guru memintanya lagi untuk mengajarkan tarekat, tetapi TGH. Makmun tetap menyatakan diri tidak sanggup untuk hal itu. Begitulah permintaan sang guru serta jawaban sang murid sampai 39 kali. Akhirnya pada kesempatan yang ke 40, TGH. Siddiq sendiri datang menemui TGH. Makmun ke Karang Lebah Praya malam hari. TGH. Siddiq mengatakan : ”Saya ini sudah tua rasanya, hidup ini tidak akan lama lagi, untuk itu permintaan saya yang terakhir ini jangan sampai tidak diterima”. Barulah TGH. Makmun menyatakan kesiapannya sebagai guru tarekat. Penurus dari Tuan Guru Haji Muhammad Siddiq Karang Kelok Ampenan. Dan selang beberapa tahun kemudian meninggallah Tuan Guru Siddiq.
Pada waktu sebelum Tuan Guru Makmun mengajarkan tarekat sejak jaman penjajahan Belanda di Lombok, beliau selalu mengajarkan al-Qur’an setiap pagi sampai akhir hayatnya. Sehingga muridnya yang tinggal di asrama (mondok) pada waktu itu kurang lebih 250 orang.
Ma’arif sewaktu kecilnya tinggal bersama keluarga tercintanya di Karang Lebah kurang Sembilan tahun, oleh kakak beliau Haji Khalil dan beberapa murid ayah beliau menceritakan bahwa pada waktu Ma’arif masih bayi, setiap malam selalu ditemukan cahaya terang memenuhi kamar dalam rumah tempat tinggal beliau, terang bagaikan lampu besar yang menyala mengitari tubuhnya. Kejadian ini berlangsung selama satu tahun. Setelah itu selama satu tahun berikutnya (tahun kedua) gelap seperti biasa. Dan pada tahun ketiga muncul lagi, terang seperti pada tahun pertama sampai akhir tahun selama dua belas bulan. Setelah itu kembali seperti biasa. Kemudian hal ini dilaporkan kepada ayahndanya Tuan Guru Haji Makmun, jawaban beliau :”Diam-diam” pertanda beliau sudah mengetahui dan menyadari maknanya.
Disaat beliau (Ma’arif) berada di rumah, beliau sering diajak oleh ayahandanya pergi keluar kota dalam rangka menghadiri acara silaturahmi, tasyakkuran dan lain lain.
Pernah terjadi pada suatu hari, beliau diajak menghadiri acara pemakaman salah seorang jema’ah yang meninggal di desa Kembang Kuning Lombok Barat. Waktu itu ayahnya dijemput dengan mobil sedan, setelah ayahandanya duduk berdampingan dengan sopir, dan sambil menuggu anak murid yang mengaji al-Qur’an di santren atau mushalla. Dan pada saat mobil mau berangkat, terlintas di dalam hati beliau (Ma’arif) mengatakan “Sak mule yak paut jai ngiring Abah jak dengan sak gagah-gagah no” (seharusnya yang pantas menemani ayah adalah orang yang gagah-gagah itu bukan orang yang seperti ini). Tiba-tiba ayah beliau berkata, “Apa kata hatimu?” “Supaya saya ditemani orang-orang gagah?” Lantas beliau terdiam dan baru mengerti bahwa hal itu dinamakan khawas.
Setelah Ma’arif berusia Sembilan tahun, beliau diantar ke Sekarbela Lombok Barat, untuk mempelajari dasar-dasar ilmu agama Islam bersama kakak tertuanya Haji Abdul Hamid (wafat 1947 M). Pada waktu itu Sekarbela mashur disebut “Kampung Ahli Ilmu” yaitu kampung yang dipadati oleh orang-orang yang mengaji dan para ulama yang mengajar mengaji terutama dalam ilmu alat /nahwu syaraf (tata bahasa Arab). Sehingga sering kita jumpai di Sekarbela itu mencabut rumput di kebun ataupun di sawah bernyanyi denga lagu “ja’a zaidun, ja’a fi’il madhi hingga akhir.
Adapun guru-guru tempat beliau mulazamah/tetap mengaji waktu itu seperti Tuan Guru Haji Muhammad Ra’is bin Haji Muhammad Thaha Sekarbela (lahir tahun 1855 dan wafat tahun 1967 M) Beliau ini adalah sahabat karib Tuan Guru Haji Makmun Karang Lebah Praya. Mereka sering saling kunjung mengunjungi guna bersilaturahmi, dan sering kali pada waktu musim panen padi, beliau datang kepada Tuan Guru Haji Muhammad Ra’is sambil mengantarkan zakat fidyah yang dikumpulkan dari sebelumnya, yang jumlahnya terkadang tidak kurang dari satu ton. Dan pada saat Tuan Guru Haji Makmun ada halangan. Beliau perintahkan putranya Haji Khalil bersilaturahmi sambil mengantarkan zakat langsung kepada Tuan Guru Haji Muhammad Ra’is. Hal ini dilakukan untuk menempatkan rasa mahabbahnya/ cintanya yang sangat mendalam kepada TGH. Muhammad Ra’is. Seorang ulama yang sangat alim lagi shaleh.
Tuan Guru Haji Muhammad Ra’is adalah murid kesayangan dari Tuan Guru Haji Umar Kelayu Lombok Timur, ayah dari Tuan Guru Haji Badrul Islam. Begitu juga Ma’arif, beliau termasuk salah seorang murid kesayangan Tuan Guru Haji Muhammad Ra’is. Kaena kedekatannya dengan gurunya, maka beliau sering diajak pergi berduaan pada malam hari menghadiri acara selamatan atau acara silaturrahmi ke luar kampung Sukerbela. Seperti, ke gubuk/kampung Bagik Polak dengan mengendarai cidomo/dokar (pedati). Dan dalam perjalanan Tuan Guru Ra’is tidak pernah berbicara sepatah katapun. Melainkan hanya berzikir ingat kepada Allah semata. Kecuali setibanya di rumah, Tuan Guru hanya menyapa dengan kata, “Ma’arif, rani ante ulik mesak?” (Ma’arif beranikah kamu pulang sendiri?) “Inggih Tuan Guru” jawabnya dengan pelan dan hormat.
Sedangkan pengajian Tuan Guru yang dapat diikutinya adalah setiap malam yang dimulai setelah isya sampai jam 11 atau 12 malam. Karena begitu lamanya pengajian tidak jarang beliau ditinggalkan tidur sendiri oleh semua temannya sampai selesai pengajian, yang tentunya do’a penutup jarang mereka dapat ikuti. Karena keadaan Ma’arif dari sejak kecil sampai menjelang usia 9 tahun, kondisi kesehatannya sering terganggu, sakit-sakitan (proganan), sebab itulah beliau waktu itu banyak tidur dan cepat mengantuk.
Adapun guru yang kedua yaitu Tuan Guru Haji Thaha Persinggahan, sebelah timur Sekarbela. Pada awalnya beliau mengaji bersama puluhan temannya, di dalam pengajian Tuan Guru menggunakan metode tanya jawab, bila ada murid yang salah dalam menjawab Tuan Guru langsung berteriak dengan suara lantang :”Lebak lawuk praye atau merang lawuk Praye?” (Kampung Lebak selatan Praya ataukah Merang selatan Praya?). Dengan cacian seperti itu akhirnya semua temennya secara perlahan satu persatu menghilang tanpa khabar. Tinggallah Ma’arif seorang diri sebagai murid kesayangan. Sekalipun Ma’arif tinggal sendiri, suara lantang sang guru tidak pernah surut tetap seperti mengajar puluhan orang. Bila sang murid menjawab pertanyaan tuan Guru dengan benar maka dengan suara lantang berkata :”Babar muridku, sino muridku” (Begitu, terus muridku), pertanda beliau sangat senang dan gembira.
Dalam hal menghafal pelajaran, Ma’arif selalu dibimbing oleh Tuan Guru Haji Ibrahim Lomban Praya, karena pada waktu itu TGH Ibrahim lebih alim dan umurnya lebih tua dari padanya, juga karena tempat tinggalnya (pondok) sama-sama dalam satu rumah. Selesai shalat subuh, beliau ditasmi’ (memperdengarkan hapalan) kitab matan al-Ajrumiyah, matan al-Bina’, matan al Izzi, kepada TGH. Ibrahim. Ketika akan di tasmi’ matan alfiyah, Ma’arif keburu pamit untuk pindah mengaji ke Pancor Lombok Timur.
Pada akhirnya TGH. Ibrahim disamping sebagai gurunya juga sebagai sahabat karibnya dalam mendidik anak-anak madrasah selama lebih kurang 20 tahun. Di madrasah TGH. Ibrahim tidak pernah lepas mengajarkan ilmu nahwu dan Sharaf pada kelas-kelas terakhir. Alhamdulillah dengan keikhlasan dan ketekunannya, banyak murid madrasah menjadi alim dalam ilmu alat. TGH. Ibrahim sering berdo’a: “Mudah-mudahan aku mati dalam mengajar di madrasah”. Rupanya do’anya terkabulkan, tepatnya pada hari rabu setelah dzuhur yang mestinya jadwal mengajarnya di Darul Muhajirin adalah besok paginya (kamis) tetapi Allah berkehendak lain. TGH. Ibrahim dipanggil oleh Allah pada hari itu dengan tenang dan selamat, semoga amal ibadahnya diterima oleh Allahu Ta’ala. Amin.
Setelah kurang lebih 2 tahun Ma’arif belajar di Sekarbela beliau mohon pamit kepada guru-gurunya, guna melanjutkan ke Pancor Lombok Timur. Dari Sekarbela beliau langsung diantar ke Pancor oleh saudaranya Haji Abdul Hamid. Di Pancor beliau diserahkan kepada Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid dan kepada TGH. Muhammad Badrul Islam. Oleh TGH. Muhammad Zainuddin, Ma’arif dijadikan murid kesayangan. Karena itu Ma’arif sering diajak bersilaturahmi ke luar kota. Dan pada hari kamis selalu diisi pelajaran khitabah/pidato yang langsung dipimpin oleh Tuan Guru sendiri. Dan waktu itu beliau beserta ustadz Haji Abdul Waris, Iwan Jurang Jaler, dilatih berpidato dengan menampilkan syair-syair melayu. Pernah pada suatu hari murid kesayanganya itu diutus ke Mataram dalam rangka menghadiri Muktamar Muhammadiyah atas nama wakil dari TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid. Sebagai bahan yang akan disampaikan, beliau disuruh menghapal dua lembar teks pidato yang disusun oleh Tuan Guru. Begitu hapal langsung berangkat ke Mataram, disanalah beliau menyampaikan pesan-pesan dari Tuan Guru. Setelah selesai para hadirin bertanya-tanya, siapakah gerangan anak kecil yang berpidato tadi? Seseorang menjawab, “itulah yang namanya Ma’arif murid Pancor asli Praya”.
Di dalam kesempatan yang lain beliau gunakan juga untuk pergi mengaji kepada TGH. Badrul Islam, rumah Tuan Guru terletak disebelah utara masjid dipinggir jalan raya. Pengajian Tuan Guru di masjid Pancor ini sekali dalam seminggu, biasanya pengajian dimulai sebelum zuhur dan setelah selesai dilanjutkan dengan acara minum teh atau kopi ditambah jajan. Semuanya disiapkan oleh tuan Guru. Jumlahnya hampir mencapai 80 hidangan/ sele/baki. Setelah selesai mengikuti pengajian Tuan Guru, Ma’arif dan teman-temannya yang sepondok bangkit bertugas sebagai penjamu tamu. Disaat yang lain, Ma’arif sering dicari oleh Tuan Guru untuk memijatnya menjelang Tuan Guru tersebut tidur.
Setelah kurang lebih 6 bulan Ma’arif belajar di Pancor, beliau berkirim surat kepada ayahandanya di Praya, memohon kepadanya agar dikirim belajar ke Mekkah al-Mukarramah, menyusul kakaknya TGH. Mukhsin yang sudah 2 tahun berada di Mekkah. Dan juga mumpung usianya masih belum baligh yang tentunya ongkos naik haji setengahnya biaya orang dewasa yaitu 40 ringgit. Dan jika akan berangkat nanti setelah dewasa/baligh tentu harus membayar 80 ringgit. Setelah suratnya diterima oleh ayahandanya, maka isi surat tersebut segera dimusyawarahkan bersama seluruh keluarga. Ternyata semua keluarga menyatakan setuju dan sangat mendukung. Akhirnya Ma’arif mohon pamit kepada Tuan Guru di Pancor dan pada tahun itu juga beliau berangkat ke Tanah Suci Mekkah al Mukarromah yang perjalanannya kurang lebih 6 bulan.
Setibanya di Mekkah beliau mendatarkan diri di madrasah Darul Ulum dan disamping beliau belajar di madrasah, beliau sempat juga belajar di luar madrasah secara khusus. Seperti kepada TGH. Mukhtar Kediri yang waktu pengajiannya setiap selesei shalat magrib dan pengajian tersebut tetap diikutinya sampai kurang lebih 5 tahun (selama beliau berada di Mekkah).
Setelah beberapa bulan berada di Mekkah beliau mendapat surat perintah dari ayahndanya TGH. Makmun, agar beliau bersama saudaranya H. Mukhsin yang sudah lebih 2 tahun berada di Mekkah, pergi menerima ijazah tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah kepada Syekh Idris Banten. Syekh Idris Banten adalah salah seorang ulama tasawuf yang ahli qira’ah dan hapal al-Qur’an dan termasuk penyebar tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah yang masuk ke Indonesia. Kepada syekh ini beliau belajar tajwid, membaca al-Qur’an, qira’ah Hafsh dan berbagai hal tentang tarekat dan seluk beluk tarekat. Setelah dilihat kecerdasan ketekunannya oleh Syekh Idris maka beliau diminta untuk datang belajar sendirian tanpa ditemani oleh siapapun. Dan di saat berdua itulah beliau menerima banyak ilmu pengetahuan. Sesekali beliau dijadikan katib (juru tulis) pribadi oleh syekh Idris. Diwaktu lain beliau diajak berbincang-bincang membicarakan beberapa hal penting. Semua perintah guru dilaksanakan dengan penuh keikhlasan. Banyak perintah guru yang di madrasah untuk mengahapal dan memuthala’ah kembali beberapa kitab maupun perintah guru yang di luar madarasah. Karena itulah pada 2 tahun pertama beliau di Mekkah, beliau mengurangi jam tidur menjadi 2 jam setiap hari dan malam. Namun karena kesehatannya sedikit terganggu maka pada 3 tahun berikutnya beliau tidur sehari semalam hanya sekedar 4 jam saja. Dan dari Syekh Idris Banten inilah juga beliau mendapat banyak ijazah, terutama dalam hal ilmu dan amalan tarekat dan beliau belajar kepada Syekh Idris kurang lebih 5 tahun.
Setelah kurang lebih 2 tahun beliau berada di Mekkah, barulah kemudian beliau juga mengaji kepada Syekh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani (Padang). Wafat dan dimakamkan di Mekkah tahun 1990 M. Salah seorang ulama hadits yang terkenal dengan gelar “Musnid ad-dunia” ahli sanad(mata rantai) hadis sedunia. Oleh Syekh Yasin beliau diajar sendiri di Masjidil Haram selama satu jam dari pukul sebelas sampai pukul dua belas malam. Begitulah halnya selam lebih kurang 3 tahun. Karena kedekatanya yang seperti itu, maka beliau dijadikan salah seorang murid kesayangan Syekh Yasin. Sehingga dengan penuh kerelaan dan keikhlasan Syekh Muhammad Yasin menumpahkan semua ilmunya baik yang secara langsung ataupun dengan ijazah khusus ataupun umum. Adapun yang ilmu-ilmu yang diterimanya itu semuanya serba kilat, tidak ada yang diucapkan dua kali, itupun dengan kecepatan tinggi. Namun bagi beliau (Ma’arif) tidak menjadi masalah yang jelas beliau selalu memperhatikan apa yang dikatakan oleh Syekh dan setelah pulang dari pengajian dan sesampainya di rumah, barulah ditulis semua keterangan yang diterimanya tadi tanpa ada yang tertinggal sepatah katapun.
Pada kesempatan lain, beliau juga belajar kepada beberapa guru. Antara lain kepada Syekh Muhammad Nuri Trenggano Malaysia, Syekh Abdul Karim Mandailing Medan, TGH. Ibrahim Kediri Lombok Barat, selama kurang lebih enam bulan dan di Mekkah juga beliau sangat akrab dengan TGH. Musthafa Kediri Lombok Barat. Karenanya TGH. Musthafa sering mengajaknya makan bersama keluarga di rumahnya, dan sering juga diajak bertamasya keluar kota, seperti ke Tha’if. Beliau juga sering bertemu dengan TGH. Abdul Hamid Kediri Lombok Barat, yang acapkali mengajaknya makan kerumahnya.
Kemudian pada tahun pertama setelah selesai mengerjakan ibadah haji beliau mengubah namanya dari MA’ARIF menjadi Haji MUHAMMAD NAJMUDDIN. Nama yang kedua inilah yang terkenal sampai sekarang. Pada tahun keempat dan kelima berada di Mekkah terjadilah perang dunia II, sehingga uang belanja sehari-hari tidak terkirim selama dua tahun. Meskipun penderitaan beliau pada waktu itu sudah hampir tidak tertahankan, namun Alhamdulillah kegiatan belajar di madrasah maupun di luar madrasah tidak pernah tertinggalkan, selalu ada bantuan Tuhan.
Setelah dirasakan cukup lima tahun beliau berada di Mekkah, beliaupun mohon diri, pamit kepada semua gurunya. Dengan izinnya maka berangkatlah beliau pulang tanpa membawa oleh-oleh barang berharga sedikitpun. Sambil menunggu kedatangan kapal laut MAI (Majlis A’la Indonesia) di Jeddah. Beliau menginap di Jeddah bersama 14 orang temannya dari Lombok yang akan berangkat juga, salah seorang di antaranya bernama Haji Lalu Mansyur dari Sakra Lombok Timur. Setibanya kapal, maka tidak lama kemudian para penumpang menaiki kapal, diantara mereka Kyai Haji Anwar Musaddad Jawa Barat.
Di dalam kapal, Haji Muhammad Najmuddin bergabung dengan Haji Mansur yang kebetulan pulang bersama istrinya dan seorang anaknya yang berumur dua tahun yang sedang sakit. Disini beliau membantu Haji Mansyur merawat dan menjaga putranya yang sedang sakit yang berada dalam ruang opname rumah sakit kapal. Beliau menyuapinya makan, memberinya minum, menyiapkan obat yang akan diminum dan selalu berada di sisinya tiap hari dan malam. Tetapi ajal tidak dapat ditolak. Akhirnya sang anak meninggal dunia dalam kapal di tengah perjalanan menuju Indonesia.
Pada saat Haji Mansur masih dirundung kesedihan itu, beliau dihadiahkan olehnya selembar kain sarung yang sudah dipakainya (setengah baru) sebagai ucapan rasa terima kasihnya atas bantuan yang diberikan kepadanya. Lantas sarung itu diambilnya kemudian langsung dipakainya setelah membuang lebih dahulu sarungnya yang tidak mungkin dapat dipakai lagi. Setelah 40 hari berada di dalam kapal sampailah beliau di pelabuhan Betawi atau Jakarta. Dan di Betawi kapal istirahat kurang lebih 15 hari. Setelah itu kapal diberangkatkan menuju pelabuhan Ampenan Lombok. Setelah sampai di pelabuhan Ampenan waktu magrib. Semua penumpang kapal segera turun dengan disambut oleh keluarga masing-masing, kecuali beliau sendiri. Maka tinggallah beliau seorang diri, tanpa ada seorangpun yang menyambutnya. Dalam perasaan sedih seperti itu, perlahan lahan beliau pergi meninggalkan pelabuhan Ampenan dengan mengendarai cidomo (andong/pedati) menuju arah timur sambil berpikir “kampung mana yang harus dituju?” maka terlintas dalam benak beliau kampung Karang Kelok adalah kampong yang pernah dikunjunginya 2 kali, sewaktu beliau belajar atau mondok di Sekarbela. Akhirnya beliau memutuskan untuk pergi ke Karang Kelok malam itu juga, sekalipun cuaca waktu itu agak gelap dan sedikit gerimis. Setibanya di Karang Kelok beliau diturunkan dari cidomo lalu berteduh di bawah pepohonan bambu dipinggir sungai sambil menunggu orang lewat untuk tempat bertanya. Tidak lama kemudian lewatlah seorang pengendara sepeda kepadanya beliau bertanya, ‘Dimanakah letak masjid Karang Kelok itu?’ si pengendara sepeda balik bertanya, ‘Elek embe side?’ (Darimanakah anda ini?) , ‘Saya datang dari Mekkah’ jawabnya polos. ‘oh’, dari kapal yang bersandar tadi?’ tanyanya lagi. ‘Ya’ jawab beliau. Lalu beliau diantar langsung ke masjid Karang Kelok oleh si pengendara sepeda.
Setibanya di Karang Kelok kurang lebih pukul 10 malam, beliau langsung masuk ke dalam masjid. Waktu itu jama’ah masjid sedang mengadakan acara serakalan (membaca barzanji), setelah selesai acara para hadirin saling bertanya, siapakah pemuda baru ini?. Salah seorang dari mereka memberanikan diri bertanya langsung pada beliau, ‘Siapakah anda ini dan darimana asalmu?’ ‘Dari Praya’ jawabnya. ‘Apakah rumahmu tidak berdekatan dengan rumah TGH. Makmun?’ Tanya mereka lagi. ‘Dekat, dekatnya itu sudah’ jawabnya. ‘Bukankah anda yang bernama Ma’arif?’, karena dalam keadaan terdesak dengan jujur menjawab :’ya, saya Ma’arif’, lantas semua jama’ah tercengang keheranan, dan baru mereka sadar bahwa Ma’arif baru datang dari Mekkah. Maka dengan tergopoh-gopoh beliau dihidangkan makanan istimewa, pertanda bahwa warga Karang Kelok ikut bergembira dan bersyukur atas kehadiran beliau yang baru saja datang dari Mekkah.
Kemudian esok harinya beliau diantar pulang ke Karang Lebah Praya. Setibanya di karang Lebah beliau disambut oleh keluarga dengan perasaan terharu serta bingung, sebab 2 hari sebelumnya mereka pernah menjemputnya ke pelabuhan Ampenan, namun kapal yang ditunggu tidak kunjung tiba. Akhirnya mereka sepakat untuk pulang sambil menunggu khabar kepastian kapal yang datang berikutnya.
Setibanya dari Mekkah, beberapa bulan kemudian beliau pergi mengaji kepada TGH. Musthafa Kediri Lombok Barat, kepadanya beliau mengaji kurang lebih selama 3 bulan. Disamping itu beliau mohon izin kepada ayahndanya untuk mengaji lagi kepada TGH. Muhammad Zainuddin Pancor Lombok Timur. Namun ayahndanya menjawab :’Keberkatan ilmu itu tidak saja datang sewaktu kita bersama guru, namun bisa saja datang setelah kita berpisah, yakni berada jauh dari tempat sang guru. Karena itu tetaplah kamu di sini, bimbinglah anak-anak yang sudah banyak ini”. Mendengar jawaban ayahndanya itu, maka beliau memutuskan diri untuk tinggal bersama keluarga di Karang Lebah Praya. Mulailah beliau melanjutkan perjuangan yang telah dirintis oleh saudara tuanya TGH. Abdul Hamid beserta ayahandanya TGH. Makmun bin Abdul Wahid. Pada awal mulanya beliau memberikan pengajian di rumah kediamannya, kemudian pengikut pengajian semakin lama semakin banyak, sampai tidak dapat tertampung di satu rumah. Lalu beliau meminjam rumah keluarga sebagai tambahan tempat pengajian. Melihat keadaan seperti itu, akhirnya beliau berhasrat membangun sebuah gedung madrasah. Alhamdulillah dengan izin Allah tepatnya pada tahun 1943 M berdirilah dengan resmi sebuah gedung madrasah yang bernama ‘Nurul Yaqin’ (cahaya keyakinan), satu-satunya madrasah yang terdapat di Lombok Tengah waktu itu. Beberapa bulan kemudian, ketika masih dalam penjajahan Jepang, datanglah seseorang kepada beliau mengkhabarkan bahwa besok akan datang pimpinan pasukan Jepang, yaitu Kapring Kang (bupati dalam bahasa Jepang) yang bermarkas di Praya, guna meninjau keadaan madrasah serta akan menginstruksikan kepada semua guru madrasah agar ikut dalam latihan Tai Sho/ olah raga khas Jepang yang secara langsung dilatih oleh pihak Jepang. Dengan adanya berita itu TGH. Muhammad Najmuddin Makmun merasakan sedikit kecemasan serta khawatir bila ada maksud jahat dibalik semua itu. Lalu Beliau menghadap kepada ayahandanya guna memohon doa agar pimpinan Jepang tidak jadi datang ke madrasah. Maka dengan ikhlas Beliau berdoa kepada Allah beberapa saat. Tepat pada jam yang telah ditentukan pimpinan Jepang yang memakai tongkat itu berjalan melalui depan Madrasah Nurul Yakin tanpa mau berhenti. Ia langsung saja berjalan menuju arah timur sampai di Pabrik kampung Surabaya kurang lebih setengah kilometer dari Madrasah. Disana dia bertanya:”Mana gubuk (kampung) Karangrebah?” dijawab oleh orang: ”Sebelah timur jembatan tuan besar”. “Oh, ya” katanya. Lalu Jepang itu kembali langsung ke Markasnya tidak jadi datang hari itu. “Besok hari saya akan datang lagi” katanya. Kemudian pada esoknya sebelum Jepang itu datang Beliau menghadap lagi kepada Ayahandanya guna memohon doa lagi agar Jepang itu tidak jadi datang. Lalu dengan penuh keyakinan beliau berdoa kepada Allah selama beberapa saat. Betul juga pada jam yang sudah ditentukan pimpinan Jepang tersebut datang berjalan kaki dari barat ke timur. Tetapi anehnya dia tidak berhenti di depan Madrasah, malah dia langsung saja jalan ke timur. Sesampainya di pabrik kampung Surabaya barulah dia bertanya: ”Mana nama Karangrebah?” “Sebelah timur jambatan besar Tuan Besar” jawab seseorang. Akhirnya dia kembali pulang ke markasnya tanpa mau berhenti di madrasah yang dicarinya. Dengan memperhatikan kejadian seperti itu barulah beliau merasa lega bersyukur kepada Allah yang dengan berkat doa ayahandanya maka beliau beserta guru-guru madrasah terbebas dari keinginan jahat pimpinan Jepang. Alhamdulillah semuanya telah diatur oleh Allah Rabbul alamin.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1972 beliau berangkat lagi menunaikan ibadah haji. Kali ini beliau bertemu lagi dengan gurunya Syeikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani. Di saat itu beliau diijazahkan lagi beberapa ilmu dan kitab. Hal ini disebabkan kedekatan dengan gurunya selalu terjalin sekalipun berbeda tempat tinggal, karena selalu diikat dengan jalinan surat menyurat. “al-murasalah nishful muwajahah” (bersurat adalah setengah pertemuan), demikian kata nasihat yang sering diucapkan.
Dalam kesempatan itu juga beliau pergi bershilaturrahmi dengan Syeikh Muhammad Hasan al-Masysyath bersama TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid Pancor dan TGH. Afifuddin Adnan, TGH. Yusuf, dan lain-lain. Ketika itu beliau diijazahkan beberapa kitab dan amalan tharikat Naqsyabandiyah, serta diperintah agar tetap mengenakan pakaian jubah. Hal ini karena TGH. Muhammad Najmuddin biasanya hanya memakai jubah sekali dalam seminggu pada saat shalat Jum’at saja. Sedangkan untuk memakai kurung dilapisi jubah itu tidak pernah dipakainya sejak jaman Jepang sampai saat ini kecuali, kecuali sejak dua tahun kemarin, Beliau setiap saat tetap memakai kurung dan jubah. Hal itu berdasarkan perintah yang diterima dari Nabi Adam as., Nabi Nuh as. Dan lain-lainnya. Dimana Beliau semua berkata:”Bila anda tetap memakai kurung kemudian jubah maka kami akan tetap mendampingimu setiap saat”. Oleh sebab itu sekarang ini akan selalu kita temukan beliau dalam keadaan menggunakan pakaian kurung kemudian jubah, itu semata-mata untuk memperoleh berkah serta terhindar dari terkena kuwalat (tualah manuh).
Sekembalinya dari Tanah Suci, beliau langsung pulang menuju rumah barunya di Pondok Pesantren Darul Muhajirin, satu km arah barat Karang Lebah. Pondok Pesantren ini berdiri di Atas tanah seluas kurang lebih 3,5 ha. Tanah ini merupakan hadiah dari pemerintah daerah Lombok Tengah yang pada waktu itu adalah bapak Drs. H.Lalu Sri Gede. Di atas tanah ini dibangun beberapa buah gedung madrasah yang terlihat sampai sekarang. Namun sebelum gedung baru ini ditempati, kegiatan belajar mengajar di tampung di kompleks madrsah Ibtida’iyah Tengari pimpinan ustadz H. Muhammad Syafi’i. Kurang lebih 350 m arah timur Muhajirin. Kegiatan ini berlangsung kurang lebih 2 tahun.
Pondok Pesantren Darul Muhajirin adalah kelanjutan dari Madrasah Nurul Yaqin Karang Lebah. Karena kondisi waktu itu tidak memungkinkan untuk mengembangkan madrasah Nurul Yakin secara lebih leluasa. Maka beliau memutuskan diri untuk pindah ke Pondok Pesantren Darul Muhajirin. Di Pondok inilah beliau berkhidmat bersama semua keluarga dan semua jamaahnya sampai sekarang ini.
Sampai disini dahulu. InsyaAllah akan disambung lagi pada kesempatan lainnya. Walhamdulillahi Rabbil alamin.
(Dikutip dari Kitab Fawaid al-Hifdzi karya TGH. Muhammad Najmuddin Makmun. Cet.3. Maktabah Bariklana, 2008)

Sponsor By



Sarana berbagi informasi dunia kerja dan usaha