Pukul Berapa yaaaaa??

Slider

09 July 2008

Urgensi dan Manajemen Dakwah Kampus

Urgensi pemolaan manajemen Dakwah Kampus (membuat Dakwah Kampus yang terpola, red) bukanlah semata-mata karena tuntutan modernitas. Seolah-olah menjadi kelatahan apabila muncul sebuah kesadaran untuk lebih komprehensif mem-pola-kan Dakwah Kampus dalam rumusan-rumusan yang menjadi tradisi masyarakat modern. Padahal memenej Dakwah Kampus adalah sebuah sunnatullah bagi siapa saja yang ingin seruannya menjadi kiblat yang digugu, ditiru, dan dipanuti. Jadi membuat nidzham yang sistemik dan pemprograman yang jelas merupakan kewajiban bagi setiap rijalud dakwah yang bermujahadah. Artinya, mentakwin ummat, membentuk generasi rabbani, dan menuju khairu ummah, bukanlah membangun kerajaan pendeta, rezim junta militer yang facistis, atau sekedar membuat konfrensi internasional. Akan tetapi risalahnya adalah mewujudkan pemahaman yang syamil (tidak juz’i) pada setiap diri muslim sekaligus mengejawantahkannya pada peradaban yang lengkap (tidak sektoral). Ali Ra pernah berkata: Al Haq yang tidak ternidzham akan dikalahkan oleh al bathil yang ternizham


Kampus adalah komunitas kecil yang merepresentasikan sebuah negara dalam skala mini. Kampus juga bisa dipandang sebagai pusat informasi yang paling cepat mengolah data menjadi konseo-konsep yang siap diterapkan di tengah masyarakat. Kampus adalah sebuah wahana yang mampu membahas segala permasalahan secara komprehensif melalui pendekatan multi dimensional. Dari sisi rekrutmen, kampus merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang berpotensi menjadi penentu kebijakan di masa datang. Bahkan pada saat-saat tertentu kampus dapat juga menjadi faktor yang ikut menentukan perubahan sejarah.

Oleh karenanya kampus dapat dijadikan sebagai sebuah laboratorium untuk menelurkan berbagai konsep. Sekaligus berfungsi pula sebagai sarana latihan bagi para rijalud dakwah dalam menerapkan konsep-konsep tersebut. Homogenitas komunitas kampus justru bisa menjadi kekuatan untuk menguji seberapa handal kualitas sumber daya manusia yang ada dan seberapa bagus konsep yang ditelurkan. Sesungguhnya pergesekan elit dan perdebatan konsep terjadi pada masyarakat yang berpendidikan tinggi. Sementara, untuk menghindari kecenderungan untuk menjadi elitis harus dirumuskan kegiatan-kegiatan yang menyentuh langsung masyarakat luas.

Manajemen Dakwah Kampus

Apabila telah muncul persamaan persepsi pada diri setiap rijalud dakwah tentang urgensi dakwah kampus, amat penting untuk segera dipetakan permasalahan yang ada. Di sinilah perlunya para rijalud dakwah yang memiliki kemampuan manajerial tinggi. Selain itu perlu juga dikerahkan rijalud dakwah dari beragam disiplin ilmu untuk dapat mendekati permasalahan secara multi dimensional.

Selama ini pengelolaan dakwah kampus lebih nampak sebagai sebuah paguyuban. Lembaga musholla, rohani islam, atau lembaga dakwah kampus menunjukkan kekeluargaan yang tinggi dan mampu mengikat banyak orang. Akan tetapi pengelolaan organisasinya cenderung tradisional. Ketergantungan akan figur masih sangat tinggi, sementara sistemnya-kalau tidak bisa dibilang amburadul-sangat lemah. Lembaga lainnya di kampus nampak memiliki kecenderungan yang tinggi untuk melahirkan nidzham yang sistemik. Dalam hal profesionalitas dan etos kerja, harus diakui bahwa para rijalud dakwah masih kalah dengan para pialang peradaban barat, minimal dalam hal performance-nya.

Oleh karenanya hal pertama yang harus disosialisasikan adalah urgennya diselenggarakan diklat-diklat Manajemen Dakwah Kampus di setiap kampus. Mulai dari tingkat universitas, fakultas, unit-unit kegiatan, sampai jurusan-jurusan. Harus dirumuskan sebuah paket standard dalam bentuk modul atau diktat yang menjadi tolak ukur bagi peningkatan sumber daya manusia para rijalud dakwah. Paket tersebut meliputi Manhaj Dakwah Kampus, tarbiyah ruhiyah, fiqhud dakwah, fiqhul waqi’i, dauroh murabbi, dauroh sospol, dauroh akademik, dauroh ijtima’iyyah, dan ketrampilan manajemen dakwah. Pada hakekatnya paket-paket ini merupakan dauroh tarqiyah yang dikemas secara menarik.

Manajemen Dakwah Kampus dapat dijabarkan sebagai kiat-kiat, teknik, panduan, juklak, atau bahkan model-model dan format kegiatan yang bersifat kongkret. Manajemen Dakwah Kampus merupakan turunan langsung dari konsep dasar yang bersifat abstrak seperti yang termaktub dalam materi fiqhud dakwah. Diharapkan para rijalud dakwah memiliki bekal kemampuan praktis seperti, merumuskan masalah, komunikasi massa, teknik negoisasi, berpikir alternatif, manajemen strategi, rekayasa sospol, manajemen rapat, manajemen issu dan opini publik, networking, pengembangan kreatifitas, membuat keputusan, dan penerapannya dalam sebuah organisasi. Minimal seorang rijalud dakwah memiliki kemahiran mengelola sebuah kepanitiaan.

Harapannya adalah semakin banyak dihasilkan konsep-konsep terapan yang siap pakai di lapangan akan semakin banyak pula praktisi yang siap bekerja untuk dakwah. Suatu saat tidak ada lagi prinsip “yang penting kerja” akan tetapi telah berubah menjadi “yang penting kerja dengan ihsan”. Suatu saat juga tidak ada lagi pertanyaan “bagaimana ?” ketika seseorang diamanahkan sebuah pekerjaan. Dan akhirnya tidak ada lagi orang yang tidak bekerja, bukan karena tidak mau bekerja, tetapi tidak tahu apa yang mesti dikerjakannya dan atau tidak mampu mengerjakannya.

Fiqhud Dakwah sebagai Konsep Dasar

Pemolaan Manajemen Dakwah di kampus membutuhkan landasan fiqh yang diartikulasikan secara segar dan aktual. Keluasan dan keluwesan ajaran Islam amat mendesak untuk diperdalam bagi para rijalud dakwah yang kebetulan menjadi elit kampus. Manuver-manuver politik begitu cepat berseliweran di depan mata. Pergolakan pemikiran menjadi dinamika civitas akademikanya. Selalu saja ada informasi baru yang mengguncangkan. Sementara generasi baru yang ”hedon-norak” itu begitu aktifnya menjadi pialang-pialang yang membawa kebudayaan barat di kampus. Perubahan-perubahan yang begitu cepat dan dinamika serta pergesekan dan persaingan yang begitu tajam menjadi ciri obyek dakwah (mad’u) di dunia kampus.

Perumusan fiqhud dakwah kampus amatlah penting. Hal ini berkaitan dengan kebijakan dan perilaku para rijalud dakwah di kampus. Kesalahan, kerancuan, kedangkalan, dan kesempitan pemahaman akan berakibat fatal pada wajah dakwah kampus. Seringkali citra dakwah tertutupi oleh juru dakwahnya sendiri. Kecenderungan menghakimi terkadang masih mewarnai sebuah kebijakan. Kurang tasamuh terhadap keberagaman dan cenderung saklak atau hitam-putih dalam memecahkan masalah. Padahal kompleksitas masyarakat modern semakin menuntut pola berpikir alternatif dalam menawarkan solusi.

Pemahaman akan fiqhul ikhtilaf yang senantiasa mendahulukan sisi positif (husnudzh dzhon) terhadap setiap orang dan kelompok serta mengkaitkan sisi-sisi positif tersebut dalam bangunan dakwah masih kurang sekali. Belum cukup kesadaran bahwa setiap rijalud dakwah harus mendorong terciptanya link-link dengan berbagai golongan dan kalangan serta beramal jama’I atas apa-apa yang disepakati bersama. Belum cukup usaha untuk menggerakkan partisipasi aktif masyarakat ammah dan keterkaitan semua unsur sebagai pendukung harakah. Hingga muncullah tuduhan-tuduhan seperti sok suci, penguasa kebenaran, atau facisme religius.

Oleh karenanya di tingkat pemahaman perlu pembenahan dan penjernihan agar ada kesatuan pandang dan bahasa yang sama dari para rijalud dakwah. Kesenjangan dan perbedaan persepsi bisa menjadi potensi tafaruq di lapangan. Konsep-konsep seperti manhaj, uslub, harakah, tarbiyah, halaqoh, liqo, ikhwan, akhwat, futur dan lainnya, telah mengalami bias, direduksi sebatas idiom dan disalahkaprahi sebagai satuan-satuan yang kategoris. Maka muncullah verbalisme yang pada gilirannya menghambat komunikasi dengan masyarakat ammah.

Namun hal yang amat mendesak untuk dikaji, dirumuskan, dan disosialisasikan adalah fiqhul waqi’i. Seiring dengan makin besarnya jumlah rijalud dakwah maka terbukalah peluang-peluang dakwah yang selama ini tak terbayangkan. Semangat untuk merambah ke berbagai sektor kehidupan-“yang tercermin dengan diambil alihnya berbagai posisi strategis lembaga kemahasiswaan di kampus”-seharusnya diiringi oleh bacaan yang kuat terhadap situasi dan kondisi lahan yang akan digarap. Kalau tidak, akan terjadi fitnah dan inqilabiyah yang dipaksakan (isti’jal). Manuver-manuver yang dilakukan menjadi tidak smooth. Dan sudah menjadi karakter masyarakat kampus yang tidak suka terhegemonik.

Kebutuhan utama akan fiqhul waqi’i adalah dalam pembuatan konsep. Oleh karenanya para konseptor yang lazimnya duduk di majelis syuro adalah orang-orang yang matang dalam pemahaman akan fiqhul waqi’i, cukup jam terbangnya pada medan dakwah yang akan diterjuni, dan memiliki penguasaan terhadap disiplin ilmu yang berkaitan erat dengan permasalahan-permasalahan obyek dakwahnya. Tentulah amat sulit menemukan tiga hal tersebut sekaligus dalam diri seseorang. Selain itu, skala yang membesar dan kompleksitas yang meningkat membuat semakin tidak mungkin apabila pembuatan konsep hanya diserahkan pada seseorang saja. Saatnya sekarang menghadirkan para rijalud dakwah sesuai spealisasi ilmu atau kafa’ahnya dalam sebuah forum dialog yang seimbang. Penglibatan rijalud dakwah yang ahli dalam masalah sosiologi misalnya, mendesak untuk dihadirkan agar gerak dakwah yang dilakukan lebih sosiologis (bil lisani qoumi) dibandingkan pendekatan politik melulu. Penglibatan beragam rijalud dakwah dari berbagai disiplin ilmu amat dimungkinkan di dunia kampus. Tantangan dakwahnya ada di depan mata yaitu, bagaimana menjawab permasalahan-permasalahan yang timbul dari fenomena generasi baru yang “hedon-norak” berikut kebudayaannnya itu.

Masih berkaitan dengan fiqhud dakwah, masalah kiprah muslimah nampaknya memerlukan pembahasan tersendiri. Dominasi kaum hawa di beberapa fakultas merupakan fenomena tersendiri di kampus. Lebih-lebih lagi kalau keberadaannya di kampus memperoleh-“kalau tidak bisa dibilang klaim”- legitimasi feminisme. Masalah feminisme jika diletakkan sebagai sebuah aliran pemikiran belaka mungkin hanya menjadi ghazwah di tataran pemikiran saja. Tapi kalau feminisme sudah menjadi idiologi sebuah pergerakan, ini tentu saja akan menjadi perbenturan yang mewarnai kampus di masa datang. Di tingkat nasional, bisa disaksikan maraknya buruh-buruh perempuan dan merambahnya kaum ibu ke sektor-sektor yang selama ini tak pernah terbayangkan. Beralihnya peran ibu dari sektor domestik ke sektor publik ini jelas akan berpengaruh besar di masa datang.

Catatan yang patut digaris bawahi pada pembahasan di sekitar fiqhud dakwah adalah manajemen konflik bagi para rijalud dakwah. Membicarakan konflik bukanlah meniatkan terjadinya konflik akan tetapi meniatkan penyelesaian konflik agar menghasilkan ishlah yang mendatangkan rahmat. Menabukan membicarakan tentang konflik justru mengingkari kenyataan yang ada. Memendam konflik berarti menyimpan bom waktu yang akan menjadi bumerang. Oleh karenanya konflik harus diselesaikan semenjak dini. Seiring dengan terajutnya tali ukhuwah, buatlah sebuah mekanisme yang mendamaikan perselisiha menjadi islah di atas landasan ketakwaan. Kalau seorang rijalud dakwah berhasil memanej konfliknya menjadi sebuah ishlah di atas ketakwaannya maka Allah akan merahmatinya (QS Al Hujurat ayat 10)

Introspeksi dan Evaluasi

Fenomena kefuturan pada sementara rijalud dakwah yang menggejala akhir-akhir ini bisa dilihat dari beberapa sudut. Hal pertama yang bisa dilihat adalah terhijabnya saluran komunikasi yang menimbulkan mis-persepsi dan tidak terserapnya permasalahan-permasalahan yang berkembang secara optimal. Komunikasi yang tidak efektif juga berdampak pada rendahnya pemahaman akan apa yang sebenarnya tengah diperdalam dan diperjuangkan. Akhirnya timbullah disorientasi pada sebagian rijalud dakwah.

Hal kedua sebagai akibat dari hal pertama adalah terhambatnya aktualisasi diri sebagian rijalud dakwah yang kurang sabar dan kurang pandai memahami tapi terkenal kritis, kreatif, aktif, dan progresif. Mereka yang sangat ekspresif dan energik ini, sebenarnya aset yang mahal dalam barisan rijalud dakwah. Oleh karenanya dibutuhkan langkah-langkah yang antisipatif untuk mengarahkan mereka kearah-arah yang tepat dan telah dipersiapkan dengan matang.

Hal ketiga sebagai akibat dari hal kedua adalah terjadinya stagnasi internal, di mana terdapat kecenderungan untuk defensif, tidak argumentatif, dan tidak antisipatif terhadap perkembangan yang ada. Kecenderungan yang umum adalah bertahan pada apa yang sudah ada, beku pada apa yang dianggap baku, takut berkreatifitas, malu berinovasi, khawatir salah, dan pasif menerima apa adanya. Akhirnya muncullah kebosanan dan kebencian akan kemapanan yang bersifat emosional.

Hal keempat dan terakhir adalah rongrongan eksternal. Bagaimanapun golongan kiri, kanan, haddamah, dan generasi baru yang menjadi pialang peradaban barat akan merongrong terus baik secara politis maupun pemikiran dengan pola kerja yang sistematis. Sementara-“di sinilah pentingnya fiqhul ikhtilaf dan pemahaman terhadap harokah yang baik”-kelompok politik atau aliran pemikiran tertentu dalam Islam lainnya menawarkan berbagai alternatif lain untuk dipilih.

Khatimah

Memenej dakwah pada hakekatnya menjalankan fungsi kekhalifan di muka bumi ini. Jangan sampai ketika kita berdakwah di kampus, kaidah dakwah ‘ammah wa harokatudzh dzhohiroh (dakwah umum dan aktifitas terbuka) berubah perlahan-lahan menjadi kaidah dakwah khashshah wa harokatus sirriyah (dakwah khusus dan aktifitas tertutup). Jangan sampai ketika kita berdakwah, melakukan suatu kegiatan di kampus, pemberi materinya kita, panitianya kita, dan para pesertanyapun kita semua. Marilah kita belaku professional dalam berdakwah sehingga kita dapat menjalankan tugas sebagai khalifah di muka bumi ini.

Allah menyaksikan apa yang terlintas pada setiap lubuk hati para Aktifis Dakwah Kampus. Maha suci Engkau Ya Allah, dengan memuji Engkau, aku bersaksi tiada Ilah kecuali Engkau. Aku mohon ampun kepada Mu dan aku bertaubat kepada Mu

08 July 2008

Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam



unculnya Islam membuka zaman baru dalam sejarah kehidupan manusia. Kelahiran Nabi Muhammad Saw adalah suatu peristiwa yang tiada tandingannya. Beliau adalah utusan Allah Swt yang terakhir dan sebagai pembawa kebaikan bagi seluruh umat manusia (Rahmatan Lillalamin). Michael Hart[1], dalam bukunya yang terbaru menempatkan beliau menjadi seratus orang yang berpengaruh karena beliau sangat biajak dalam bidang agama atau bidang duniawi. Banyak permasalahan semasa pemerintahan Rasululah Saw dari mulai politik & urusan kontitusional, Rasulullah Saw merubah sistem ekonomi & keuangan Negara sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an & Hadist nya[2]. Didalam Al-Qur’an telah dituliskan secara jelas semua petunjuk bagi umat manusia tentunya bisa diambil dan diadobsi menjadi petunjuk untuk semua urusan manusia.
Kemakmuran di dunia merupakan pemberian dari Allah Swt dan sekaligus penguasa tertinggi milik seluruh alam semesta, manusia adalah sebagai kontribusi yang sangat besar terhadap kelangsungan & perkembangan pemikiran ekonomi yang membawa efek baik[3].

Sebenarnya ada dua macam sejarah ekonomi[4]:

* Sejarah ekonomi yang merefleksikan evolusi pemikiran tentang ekonomi.
* Sejarah perekonomian yang menggambarkan bagaimana perekkonomian itu bisa menjadi perekonomian suatu bangsa misalnya, Indonesia.

Dalam sejarah pemikiran ekonomi paling tidak dikenal 2 jenis[5] pertama, Sejarahlah yang membeberkan evolusi pemikiran yakni suatu pemikiran dapat bersumber dari beberapa pemikir. Kedua, Menceritakan riwayat hidup dan pemikiran tokoh-tokoh pemikir besar seperti Adam Smith, Joseph Schumpeter, John Maynard Keynes dll.

Sebelum islam datang dikota Yasrib[6] sangat tidak menentu karena tidak mempunyai pemimpin yang berdaulat secara penuh tentang islam. Hukum dan pemerintahan di kota ini tidak pernah berdiri tegak dan masyarakat senantiasa hidup dalam dalam ketidak pastian apa lagi dalam urusan ekonomi. Auz dan kharaz yang merupakan dua kabilah terbesar yang ada dikota yasrib senantiasa terlibat dalam pertikaian dalam merebutkan kekuasaan. Oleh karena itu, beberapa kelompok menemui nabi Muhammad Saw. Yang terkenal dengan panggilannya Al-Amin (terpecaya) untuk meminta nya agar menjadi pemimpin mereka, mereka berjanji akan selalu menjaga keselamatan nabi dan para pengikutnya serta ikut memelihara dan mengembangkan agama Islam. Pada masa ini Islam mendapat tantangan dan rintangan yang sangat besar dari kaum Quraisy selama 13 tahun sejak wahyu pertama diturunkan, Nabi Muhammad Saw berhijrah dari kota Mekkah ke kota Yasrib. Sejak itu kota yasrib menjadi kota madinah.

Sebelum islam datang kehidupan masyarakat sangat buruk dari segi masyarakat, pemerintahan, intitusi karena mereka selalu bertentangan degan prinsip ajaran islam. Para Bankir Yahudi mulai mewarnai kehidupan umat isalam dengan cengkraman ribawi[7].

Jauh dari nilai-nilai Qur’ani seperti persaudaraan, persamaan, kebebasan, dan keadilan.

Selalu dibayang-bayangi oleh peperangan antar suku yang tidak pernah berhenti sehingga islam hadir ditengah-tengah mereka. Dan belum bisa dimobalisasikan dalam waktu dekat karena butuh waktu untuk membawa seluruh aspek kejalan yang lurus.

Perekonomian Arab[8] ketika itu adalah adalah ekonomi dagang bukan ekonomi yang berbasis sumber daya alam; minyak bumi belum ditemukan dan sumber daya alam lainnya terbatas di Zaman Rasulullah Saw bukanlah ekonomi yang terbelakang yang hanya mengenal barter bahkan jauh dari gambaran seperti itu.

Valuta asing dari Persia dan Romawi yang menjadi alat bayar resmi adalah Dirham dan Dinar, Sistem devisa bebas diterapkan dan devisa sebagai alat pembayaran yang sah dan resmi. Bahkan Sayyidina Umar Ibn Khattab[9] pernah menggunakan Instrumen Cek untuk mempercepat distribusi barang yang diimpor dari Mesir ke Madinah.

Instrumen Anjak piutang yang baru populer pada tahun 1980-an telah terkenal sejak zaman Rasul dengan nama Al-Hiwalah tetapi tidak pakai bunga tentunya dan itu sejak zaman rasul dan para sahabat. Ingatlah Rasulullah Saw telah menjadi pedagang internasional sejak usia dini ketika beliau berumur 12 tahun beliau ikut pamannya ke Syam untuk berdagang dan pada umur 16 tahun beliau pergi berdagang lagi dengan pamannya ke Yaman.

Indahnya Islam[10] adalah Monopoli boleh tetapi Monopoli’s Rent tidak boleh dan globalisasi dibuka seluas-luasnya, transaksi maya ditutup dengan serapat-rapatnya.

Pada zaman rasul gaji pegawai negeri tidak besar namun dengan pola yang sederhana dan nilai uang yang stabil mereka bisa hidup layak dan mampu membayar zakat.

Fase Pertama (450/1058 M)

Fase pertama merupakan fase abad awal sampai abad ke-5 Hijriyah atau abad ke-11 masehi yang dikenal dengan Fase Dasar-dasar Ekonomi Islam yang Dirintis oleh para Foqoha[11] diikuti oleh Sufi kemudian Filosof.

Fokus fiqh adalah apa yang diturunkan oleh syariah dan dalam konteks ini para fuqoha mendiskusikan tentang fenomena ekonomi. Tujuan mereka tidak terbatas pada penggambaran dan penjelasan fenomena ini namun demikian dengan mengacu pada Al-Qur’an dan Hadist Nabi mereka mengeksplorasi konsep maslahah (Utility) dan Mafsadah (Disutility)[12] yang terkait dengan aktivitas ekonomi. Pemikiran yang timbul terfokous kepada apa manfaat sesuatu yang dianjurkan dan apa kerugian bila melaksanakan yang dilarang oleh agama. Pemaparan para fuqoha tersebut mayoritas bersifat normatif dengan wawasan positif ketika berbicara tentang prilaku yang adil, kebijakan yang baik, dan batasan-batasan yang dibolehkan dengan masalah dunia[13].

Sedangkan kontibusi tasawuf[14] terhadap pemikiran ekonomi adalah pada keajengannya dalam mendorong kemitraan yang saling menguntungkan tidak rakus dalam memanfaatkan kesempatan yang diberikan Allah Swt, dan secara tetap menolak penempatan tuntutan kekayaan dunia yang terlalu tinggi[15].

Sementara filosof muslim dengan tetap berdasarkan syariah dalam keseluruhan pemikirannya. Tokoh-tokoh pemikiran ekonomi Islam[16] pada fase pertama ini adalah. Diwakili oleh Zaid bin Ali (80 H/738 M), Abu Hanifah (150 H/767 M), Ubaid bi Sallam (224 H/838 M), Ibnu Maskawih (421 H/1030 M) kemudian Al-Mawardi (450 H/1058 M). dan Abu Yusuf (182 H/798 M).

Ide-ide pemikiran yang pernah diciptakan fuqoha dan berdampak pemikiran yang positif antara lain:

Abu Yusuf[17] (798 M) adalah ekonom pertama yang menulis secara khusus tentang kebijakan ekonomi dan kitabnya Al-Kharaz yang menjelaskan tentang kewajiban ekonomi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan rakyat nya. Menyarankan adanya zakat pertanian dan menentang adanya pajak, bagaimana membiayai jembatan, bendungan, dan irigasi.

Fase KeDua (1058 M-1446 M)

Fase kedua dimulai pada abad ke-11 sampai pada abad ke-15 masehi dikenal sebagai fase yang cemerlang karena meninggalkan warisan intelektual yang sangat kaya. Para cendikiawan muslim dimasa lampau mampu menyusun konsep tentang bagaimana umat melaksanakan kegiatan ekonomi yang seharusnya berlandaskan Al-Qur’an dan Hadist Nabi. Pada saat yang bersamaan sisi lain mereka menghadapi realitas politik yang ditandai oleh dua hal[18] :

* Disintegrasi pusat kekuasaan Bani Abbassiyah dan terbaginya kerajaan kedalam beberapa kekuatan regional yang mayoritas didasarkan pada kekuatan (power) ketimbang kehendak rakyat.
* Merebaknya korupsi dikalangan para penguasa diiringi dengan dekadensi moral dikalangan masyarakat yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan yang semakin melebar antara si kaya dan si miskin.

Pada masa ini wilayah kekuasaan islam yang terbantang dari Maroko sampai Spanyol Barat hingga India di Timur telah melahirkan berbagai pusat kegiatan intelektual.

Tokoh-tokoh pemikir ekonomi islam[19] pada fase ini diwakilkan oleh:

Al-Ghazali (w. 505 H/1111 M), Ibnu Taymiyah (w. 728/1328 M), Al-Syatibi (w. 790 H/1388 M), Ibnu Khaldun (beliau dapat dianggap sebagai pelopor perdagangan fisiokrat dan penulis klasik seperti misalnya, Adam Smith, dan penulis Neo klasik lainnya seperti Keynes), dan Al-Maqirizi (845 H/1441 M).

Ide-idenya Al-Ghazali[20] menjelaskan fungsi-fungsi uang dalam perekonomian jauh sebelum lahirnya Adam Smith 700 tahun sebelum bapak ekonomi konvensional menulis bukunya The Wealth of Nation[21].

Fese Ketiga 1446 M-1932 M

Fase ketiga yang dimulai pada tahun 1446 hingga 1932 Masehi merupakan fase tertutupnya ointu ijtihad ( Independent Judgement ) yang mengakibatkan fase ini dikenal dengan Fase STAGNASI[22].

Pada fase ini para fuqoha hanya menulis catatan-catatan para pendahulu nya dan mengeluarkan fatwa-fatwa yang sesuai dengan aturan standar bagi maing-masing mazhab. Namun demikian, terdapat sebuah gerakan pembaru selama dua abad terakhir yang menyeru untuk kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad Saw sebagai sumber pedoman hidup.

Tokoh-tokoh Pemikir Ekonomi Islam[23] pada fase ini adalah :

Shah Wali Allah (w. 1176 H/1762 M), Jamaluddin Al-Afgani (w. 1315 H/1897 M), Muhammad Abduh (w. 1320 H/1905 M), dan Muhammad Iqbal (w. 1357 H/1938 M).

Fase Ekonomi Islam Kontemporer

Sejak Negar-negara muslim secara fisik berhasil membebaskan dirinya dari penjajahan dan kolonialisme barat pada pertengahan abad ke-20. Mereka segera memasuki dunia baru dengan persoalan pembangunan dan perekonomian yang rumit.

Pada saat yang sama ekonomi islam dan keuangan islam mulai memperlihatkan sosoknya sebagai suatu alternatif baru yang diambil dari sari pati ajaran islam. Pada Dasawarsa 1970-an dan 1980-an dimulai dari kajian-kajian tentang ekonomi dan keuangan Islam di Timur Tengah serta Negara Muslim lainnya. Buah dari kajian tersebut adalah didirikannya Islamic Development Bank di Jeddah tahun 1975 yang diikuti pendirian bank-bank islam lainnya[24].

Salah satu ciri yang paling dominan pada masa abad ini adalah pertikaian dan persaingan yang diada henti antara Kapitalisme dan Komunisme[25]. Masing-masing dari kedua dokrin tersebut melakukan yang terbaik untuk menjadikan visi kehidupan sosioekonomi nya berlaku, dan kalau bisa menguasai dunia secara keseluruhan.

Disebabkan keunggulan dua Idiology ini dalam rentang waktu yang cukup panjang, Mayoritas umat manusia dalam kurun waktu itu sampai percaya bahwa mereka tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus memiliki salah satu diantara keduanya.

Dalam belahan pertama abad ini kita telah menyaksikan sebagian kaum muslimin kehilangan daya nya karena menderita dibawah kekuasaan asing. Suara yang paling lantang ketika itu berasal dari anak Asia Selatan yaitu suara Muhammad Iqbal ( 1939 M).

Sejarah Ekonomi Islam Di Lihat Dari Para Tokoh-Tokoh Setelah Rasulullah Saw Suatu Survai

Sejarah Islam umumnya adalah sejarah politik dan agama dan jarang menjelaskan aspek perekonomian. Dengan studi ini kita bisa “membongkar” sejarah Islam dalam aspek ekonomi.

Bahkan secara khusus, M.A. Sabzwari, berhasil melukiskan “Sistem Ekonomi dan Fiskal” pada pemerintahan Rasulullah Saw. Ini merupakan tulisan sejarah yang sangat unik. Dari situ kita dapat memperoleh keterangan bahwa Rasulullah Saw ternyata bukan hanya seorang pemimpin masyarakat dan Negara, panglima militer, bahkan ternyata juga seorang “teknokrat” yang melaksanakan pembangunan yang komperhensif. Dapat disimpulkan bahwa Rasulullah Saw melaksanakan politik kemakmuran dan kesejahteraan yang sangat kentara berdimensi keadilan. Disitu tampak eratnya kaitan antara agama dan ekonomi. Politik kemakmuran ini dilanjutkan di zaman modern[26].

Kontribusi kaum muslimin yang sangat besar terhadap kelangsungan dan perkembangan pemikiran ekonomi pada khususnya dan peradaban dunia pada umumnya, telah diabaikan oleh para Ilmuan Barat. Buku-buku ekonomi barat hampir tidak pernah menyebut peranan kaum Muslimin ini. Menurut Chapra, meskipun sebagian kesalahan terletak ditangan umat Islam karena tidak mengartikulasikan secara memadai kontribusi kaum Muslimin, tetapi Barat memiliki andil dalam hal ini, karena tidak memberikan penghargan yang layak atas kontribusi peradaban lain bagi kemajuan pengetahuan manusia[27].

Para sejarawan Barat telah menulis sejarah ekonomi dengan sebuah asumsi bahwa periode antara Yunani dan Skolastis adalah steril dan tidak produktif. Sebagi contoh, sejarawan sekaligus ekonomi terkemuka, Joseph Schumpeter, sama sekali mengabaikan peranan kaum Muslimin. Ia memulai penulisan sejarah ekonominya dari para filosof yunani dan langsung melakukan loncatan jauh selama 500 tahun, dikenal sebagai The Great Gap, ke zaman St. Thomas Aquinas (1225-1274 M)[28].

Adalah hal yang sangat sulit untuk dipahami mengapa para ilmuan Barat tidak menyadari bahwa sejarah pengetahuan merupakan suatu proses yang berkesinambungan, yang dibangun diatas pondasi yang diletakkan para ilmuan generasi sebelumnya. Jika proses ini didasari dengan sepenuhnya, menurut Chapra, Schumpeter mungkin tidak mengasumsikan adanya kesenjangan yang besar selama 500 tahun, tetapi mencoba menemukan pondasi di atas para ilmuan Skolastik dan Barat mendirikan bangunan intelektual mereka[29].

Sebaliknya, meskipun telah memberikan kontribusi yang besar, kaum Muslimin tidak lupa mengakui utang mereka kepada para Ilmuwan Yunani, Persia, India, dan Cina. Halini sekaligus mengindikasikan inklusivitas para cendikiawan Muslim masa lalu terhadap berbagai ide pemikiran dunia luar selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam[30].

Sejalan dengan ajaran Islam tentang pemberdayaan akal pikiran dengan tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadist Nabi, konsep dan teori ekonomi dalam Islam pada hakikatnya merupakan respon para cendikiawan Muslim terhadap berbagai tantangan ekonomi pada waktu-waktu tertentu. Ini juga berarti bahwa pemikiran ekonomi Islam seusia Islam itu sendiri.

[1] Sejarah Pemikiran Islam Adiwarman Azwar Karim, MA, IIIT Hal : 19

[2] Sejarah Pemikiran Islam, IIIT Ibid Hal ; 4

[3] Sejarah Pemikiran Islam, Edisi ke 2 ibid Hal ; 3

[4] Sejarah Pemikiran Islam, IIIT Pengantar Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo hal ; xi

[5] Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, IIIT Pengantar Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo, hal, xii

[6] Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Ir. H. Adi Warman A. Karim, SE. MBA. MAEP, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam hal, 22

[7] Ekonomi Islam “Suatu Kajian Kontemporer” Ir. H. Adiwarman A. Karim

[8] Ibid, hal 11

[9] Ibid, hal 9

[10]ibid

[11] Pendapat M. Nejatullah Siddiq dalam sejarah pemikiran ekonomi islam, hal 10.

[12]Ibid, hal 11

[13] Ibid

[14] Ibid

[15] Ibid

[16] Ibid

[17] Adiwarman Kaarim, Sejarah Pemikiran Islam, (Jakarta: IIIT, 2001) hal. xiii

[18] Ibid Rajawali Pers hal. 18

[19] Ibid, hal 18-21

[20] Ibid

[21] Ibid

[22] Ibid, hal 21

[23] Ibid

[24]Dr. M. Umar Chapra, Islam dan Pembangunan Ekonomi, Tazkiah Institute, 2000, hal, xi ( Prakata Tazkia Institute )

[25] Ibid, hal, xiiii

[26] Sejarah Pemikiran Islam, Pengantar Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo, hal xv

[27] M. Umar Chapra, op, cit, hal. 261

[28] Pembahasan lebih lanjut mengenai hal ini, lihat Abbas Mirakhor, Muslim Contribution to Economics, dalam Baqir Al-Hasani dan Abbas Mirakhor, Essay on Iqtisad: The Islamic Approach to Ekonomics Problems, (USA: Nur Coorporation, 1989), hal. 82-86

[29] M. Umar Chapra, ibid, hal. 261-265

[30] Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi Ke 2, Ir. H. Adiwarman Azwar Karim, SE. MBA. MAEP, hal. 9 dan lebih lanjut tentang hal ini , Lihat Harun Nasution, op, cit, hal. 52-58.

03 July 2008

Sepuluh Sifat yang di benci Allah

Ulama ahli bijak berkata;" Ada sepuluh sifat yang dibenci Allah, yang timbul dari sepuluh macam orang diantara-nya:

1. Sifat bkhail yang timbul dari orang kaya
2. Kesombongan yang timbul dari orang kafir
3. Ketamakan yang timbul dari ulama
4. Tidak punya rasa malu yang timbul dari kaum wanita
5. Cinta keduniaan
6. Kemalasan yang timbul dari kaum remaja
7. kezhaliman yang timbul dari para penguasa
8. Pengecut yang timbul dari pasukan perang
9. Ujub yang timbul dari kalangan orang-orang zuhud dan
10. Riya' yang timbul dari kalangan oranng yang ahli ibadah.

Sponsor By



Sarana berbagi informasi dunia kerja dan usaha