Pukul Berapa yaaaaa??

Slider

15 June 2008

Sejarah Koperasi

Koperasi adalah institusi (lembaga) yang tumbuh atas dasar solidaritas tradisional dan kerjasama antar individu, yang pernah berkembang sejak awal sejarah manusia sampai pada awal “Revolusi Industri” di Eropa pada akhir abad 18 dan selama abad 19, sering disebut sebagai Koperasi Historis atau Koperasi Pra-Industri. Koperasi Modern didirikan pada akhir abad 18, terutama sebagai jawaban atas masalah-masalah sosial yang timbul selama tahap awal Revolusi Industri

Koperasi merupakan salah satu lembaga ekonomi yang menurut Drs. Muhammad Hatta (Bapak Koperasi Indonesia) adalah lembaga ekonomi yang paling cocok jika diterapkan di Indonesia. Hal ini dikarenakan sifat masyarakat Indonesia yang tinggi kolektifitasannya dan kekeluargaan.Tapi sayangnya lembaga ekonomi ini malah tidak berkembang dengan pesat di negara Republik Indonesia ini. Kapitalisme berkembang dengan pesat dan merusak sendi-sendi kepribadian bangsa tanpa berusaha untuk memperbaikinya. Sehingga jurang kesenjangan sosial semakin lebar dan tak teratasi lagi.

Gerakan koperasi digagas oleh Robert Owen (1771–1858), yang menerapkannya pertama kali pada usaha pemintalan kapas di New Lanark, Skotlandia.
Gerakan koperasi ini dikembangkan lebih lanjut oleh William King (1786–1865) – dengan mendirikan toko koperasi di Brighton, Inggris. Pada 1 Mei 1828, King menerbitkan publikasi bulanan yang bernama The Cooperator, yang berisi berbagai gagasan dan saran-saran praktis tentang mengelola toko dengan menggunakan prinsip koperasi.
Koperasi akhirnya berkembang di negara-negara lainnya. Di Jerman, juga berdiri koperasi yang menggunakan prinsip-prinsip yang sama dengan koperasi buatan Inggris. Koperasi-koperasi di Inggris didirikan oleh Charles Foirer, Raffeinsen, dan Schulze Delitch. Di Perancis, Louis Blanc mendirikan koperasi produksi yang mengutamakan kualitas barang.

Koperasi diperkenalkan di Indonesia oleh R. Aria Wiriatmadja di Purwokerto, Jawa Tengah pada tahun 1896. Dia mendirikan koperasi kredit dengan tujuan membantu rakyatnya yang terjerat hutang dengan rentenir.
Koperasi tersebut lalu berkembang pesat dan akhirnya ditiru oleh Boedi Oetomo dan SDI.

Belanda yang khawatir koperasi akan dijadikan tempat pusat perlawanan, mengeluarkan UU no. 431 tahun 19 yang isinya yaitu :
- Harus membayar minimal 50 gulden untuk mendirikan koperasi
- Sistem usaha harus menyerupai sistem di Eropa
- Harus mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral
- Proposal pengajuan harus berbahasa Belanda

Hal ini menyebabkan koperasi yang ada saat itu berjatuhan karena tidak mendapatkan izin Koperasi dari Belanda. Namun setelah para tokoh Indonesia mengajukan protes, Belanda akhirnya mengeluarkan UU no. 91 pada tahun 1927, yang isinya lebih ringan dari UU no. 431 seperti :
- Hanya membayar 3 gulden untuk materai
- Bisa menggunakan bahasa derah
- Hukum dagang sesuai daerah masing-masing
- Perizinan bisa di daerah setempat

Koperasi menjamur kembali hingga pada tahun 1933 keluar UU yang mirip UU no. 431 sehingga mematikan usaha koperasi untuk yang kedua kalinya.
Pada tahun 1942 Jepang menduduki Indonesia. Jepang lalu mendirikan koperasi kumiyai. Awalnya koperasi ini berjalan mulus. Namun fungsinya berubah drastis dan menjadi alat jepang untuk mengeruk keuntungan, dan menyengsarakan rakyat.

Setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 12 Juli 1947, pergerakan koperasi di Indonesia mengadakan Kongres Koperasi yang pertama di Tasikmalaya. Hari ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Koperasi Indonesia.

AWAL PERTUMBUHAN KOPERASI INDONESIA
Pertumbuhan koperasi di Indonesia dimulai sejak tahun 1896 (Ahmed
1964, h. 57) yang selanjutnya berkembang dari waktu ke waktu sampai
sekarang. Perkembangan koperasi di Indonesia mengalami pasang naik
dan turun dengan titik berat lingkup kegiatan usaha secara menyeluruh yang
berbeda-beda dari waktu ke waktu sesuai dengan iklim lingkungannya.
Jikalau pertumbuhan koperasi yang pertama di Indonesia menekankan pada
kegiatan simpan-pinjam (Soedjono 1983, h.7) maka selanjutnya tumbuh pula
koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan barang-barang
konsumsi dan dan kemudian koperasi yang menekankan pada kegiatan
penyediaan barang-barang untuk keperluan produksi. Perkembangan
koperasi dari berbagai jenis kegiatan usaha tersebut selanjutnya ada
kecenderungan menuju kepada suatu bentuk koperasi yang memiliki
beberapa jenis kegiatan usaha. Koperasi serba usaha ini mengambil
langkah-langkah kegiatan usaha yang paling mudah mereka kerjakan terlebih
dulu, seperti kegiatan penyediaan barang-barang keperluan produksi
bersama-sama dengan kegiatan simpan-pinjam ataupun kegiatan
penyediaan barang-barang keperluan konsumsi bersama-sama dengan
kegiatan simpan-pinjam dan sebagainya (Masngudi 1989, h. 1-2).
Pertumbuhan koperasi di Indonesia dipelopori oleh R. Aria Wiriatmadja patih
di Purwokerto (1896), mendirikan koperasi yang bergerak dibidang simpanpinjam.
Untuk memodali koperasi simpan- pinjam tersebut di samping
banyak menggunakan uangnya sendiri, beliau juga menggunakan kas mesjid
yang dipegangnya (Djojohadikoesoemo, 1940, h 9). Setelah beliau
mengetahui bahwa hal tersebut tidak boleh, maka uang kas mesjid telah
dikembalikan secara utuh pada posisi yang sebenarnya.
Kegiatan R Aria Wiriatmadja dikembangkan lebih lanjut oleh De Wolf
Van Westerrode asisten Residen Wilayah Purwokerto di Banyumas. Ketika
ia cuti ke Eropa dipelajarinya cara kerja wolksbank secara Raiffeisen
(koperasi simpan-pinjam untuk kaum tani) dan Schulze-Delitzsch (koperasi
simpan-pinjam untuk kaum buruh di kota) di Jerman. Setelah ia kembali dari
cuti melailah ia mengembangkan koperasi simpan-pinjam sebagaimana telah
dirintis oleh R. Aria Wiriatmadja . Dalam hubungan ini kegiatan simpanpinjam
yang dapat berkembang ialah model koperasi simpan-pinjam lumbung
dan modal untuk itu diambil dari zakat.
Selanjutnya Boedi Oetomo yang didirikan pada tahun 1908
menganjurkan berdirinya koperasi untuk keperluan rumah tangga. Demikian
pula Sarikat Islam yang didirikan tahun 1911 juga mengembangkan koperasi
yang bergerak di bidang keperluan sehari-hari dengan cara membuka tokotoko
koperasi. Perkembangan yang pesat dibidang perkoperasian di
Indonesia yang menyatu dengan kekuatan social dan politik menimbulkan
kecurigaan Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karenanya Pemerintah Hindia
Belanda ingin mengaturnya tetapi dalam kenyataan lebih cenderung menjadi
suatu penghalang atau penghambat perkembangan koperasi. Dalam
hubungan ini pada tahun 1915 diterbitkan Ketetapan Raja no. 431 yang berisi
antara lain :
a. Akte pendirian koperasi dibuat secara notariil;
b. Akte pendirian harus dibuat dalam Bahasa Belanda;
c. Harus mendapat ijin dari Gubernur Jenderal;
dan di samping itu diperlukan biaya meterai 50 gulden.

Pada akhir Rajab 1336H atau 1918 K.H. Hasyim Asy’ari Tebuireng
Jombang mendirikan koperasi yang dinamakan “Syirkatul Inan” atau disingkat
(SKN) yang beranggotakan 45 orang. Ketua dan sekaligus sebagai manager
adalah K.H. Hasyim Asy ‘ari. Sekretaris I dan II adalah K.H. Bishri dan Haji
Manshur. Sedangkan bendahara Syeikh Abdul WAhab Tambakberas di
mana branndkas dilengkapi dengan 5 macam kunci yang dipegang oleh 5
anggota. Mereka bertekad, dengan kelahiran koperasi ini unntuk dijadikan
periode “nahdlatuttijar” . Proses permohonan badan hukum direncanakan
akan diajukan setelah antara 2 sampai dengan 3 tahun berdiri.
Berbagai ketentuan dan persyaratan sebagaimana dalam ketetapan
Raja no 431/1915 tersebut dirasakan sangat memberatkan persyaratan
berdiriya koperasi. Dengan demikian praktis peraturan tersebut dapat
dipandang sebagai suatu penghalang bagi pertumbuhan koperasi di
Indonesia, yang mengundang berbagai reaksi. Oleh karenanya maka pada
tahun 1920 dibentuk suatu ‘Komisi Koperasi’ yang dipimpin oleh DR. J.H.
Boeke yang diberi tugas neneliti sampai sejauh mana keperluan penduduk
Bumi Putera untuk berkoperasi.
Hasil dari penelitian menyatakan tentang perlunya penduduk Bumi
putera berkoperasi dan untuk mendorong keperluan rakyat yang
bersangkutan. Selanjutnya didirikanlah Bank Rakyat ( Volkscredit Wezen ).
Berkaitan dengan masalah Peraturan Perkoperasian, maka pada tahun 1927
di Surabaya didirikan “Indonsische Studieclub” Oleh dokter Soetomo yang
juga pendiri Boedi Oetomo, dan melalui organisasi tersebut beliau
menganjurkan berdirinya koperasi. Kegiatan serupa juga dilakukan oleh
Partai Nasional Indonesia di bawah pimpimnan Ir. Soekarno, di mana pada
tahun 1929 menyelenggarakan kongres koperasi di Betawi. Keputusan
kongres koperasi tersebt menyatakan bahwa untuk meningkatkan
kemakmuran penduduk Bumi Putera harus didirikan berbagai macam
koperasi di seluruh Pulau Jawa khususnya dan di Indonesia pada umumnya.
Untuk menggiatkan pertumbuhan koperasi, pada akhir tahun 1930
didirikan Jawatan Koperasi dengan tugas:
a. memberikan penerangan kepada pengusaha-pengusaha Indonesia
mengenai seluk beluk perdagangan;
b. dalam rangka peraturan koerasi No 91, melakukan pengawasan dan
pemeriksaan terhadap koperasi-koperasi, serta memberikan
penerangannya;
c. memberikan keterangan-keterangan tentang perdagangan
pengangkutan, cara-cara perkreditan dan hal ihwal lainnya yang
menyangkut perusahaan-perusahaan;
d. penerangan tentang organisasi perusahaan;
e. menyiapkan tindakan-tindakan hukum bagi pengusaha Indonesia
( Raka.1981,h.42)
DR. J.H. Boeke yang dulunya memimpin “Komisi Koperasi” 1920
ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Koperasi yang pertama.

Selanjutnya pada tahun 1933 diterbitkan Peraturan Perkoperasian
dalam berntuk Gouvernmentsbesluit no.21 yang termuat di dalam Staatsblad
no. 108/1933 yang menggantikan Koninklijke Besluit no. 431 tahun 1915.
Peraturan Perkoperasian 1933 ini diperuntukkan bagi orang-orang Eropa dan
golongan Timur Asing. Dengan demikian di Indonesia pada waktu itu
berlaku 2 Peraturan Perkopersian, yakni Peraturan Perkoperasian tahun
1927 yang diperuntukan bagi golongan Bumi Putera dan Peraturan
Perkoperasian tahun 1933 yang berlaku bagi golongan Eropa dan Timur
Asing.
Kongres Muhamadiyah pada tahun 1935 dan 1938 memutuskan
tekadnya untuk mengembangkan koperasi di seluruh wilayah Indonesia,
terutama di lingkungan warganya. Diharapkan para warga Muhammadiyah
dapat memelopori dan bersama-sama anggota masyarakat yang lain untuk
mendirikan dan mengembangkan koperasi. Berbagai koperasi dibidang
produksi mulai tumbuh dan berkembang antara lain koperasi batik yang
diperlopori oleh H. Zarkasi, H. Samanhudi dan K.H. Idris.
Perkembangan koperasi semenjak berdirinya Jawatan Koperasi tahun
1930 menunjukkan suatu tingkat perkembangan yang terus meningkat.
Jikalau pada tahun 1930 jumlah koperasi 39 buah, maka pada tahun 1939
jumlahnya menjadi 574 buah dengan jumlah anggota pada tahun 1930
sebanyak 7.848 orang kemudian berkembang menjadi 52.555 orang.
Sedang kegiatannya dari 574 koperasi tersebut diantaranya 423 kopersi
(=77%) adalah koperasi yang bergerak dibidang simpan-pinjam
(Djojohadikoesoemo,1940 h.82) sedangkan selebihnya adalah kopersi jenis
konsumsi ataupun produksi. Dari 423 koperasi simpan-pinjam tersebut
diantaranya 19 buah adalah koperasi lumbung.
Pada masa pendudukan bala tentara Jepang istilah koperasi lebih
dikenal menjadi istilah “Kumiai”. Pemerintahan bala tentara Jepang di di
Indonesia menetapkan bahwa semua Badan-badan Pemerintahan dan
kekuasaan hukum serta Undang-undang dari Pemerintah yang terdahulu
tetap diakui sementara waktu, asal saja tidak bertentangandengan Peraturan
Pemerintah Militer. Berdasarkan atas ketentuan tersebut, maka Peraturan
Perkoperasian tahun 1927 masih tetap berlaku. Akan tetapi berdasarkan
Undang-undang No. 23 dari Pemerintahan bala tentara Jepang di Indonesia
mengatur tentang pendirian perkumpulan dan penmyelenggaraan
persidangan. Sebagai akibat daripada peraturan tersebut , maka jikalau
masyarakat ingin mendirikan suatu perkumpulan koperasi harus mendapat izin
Residen (Shuchokan) dengan menjelaskan syarat-syarat sebagai berikut :
a. Maksud perkumpulan atau persidangan, baik sifat maupun aturan-aturannya
b. Tempat dan tanggal perkumpulan didirikan atau persidangan
diadakan
c. Nama orang yang bertangguing jawab, kepengurusan dan anggota-anggotanya
d. Sumpah bahwa perkumpulan atau persidangan yang bersangkutan
itu sekali-kali bukan pergerakan politik.

Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka di beberapa daerah
banyak koperasi lama yang harus menghentikan usahanya dan tidak boleh
bekerja lagi sebelum mendapat izin baru dari”Scuchokan”. Undang-undang
ini pada hakekatnya bermaksud mengawasi perkumpulan-perkumpulan dari
segi kepolisian (Team UGM 1984, h. 139 – 140).
Perkembangan Pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang
dikarenakan masalah ekonomi yang semakin sulit memerlukan peran
“Kumiai” (koperasi). Pemerintah pada waktu itu melalui kebijaksanaan dari
atas menganjurkan berdirinya “Kumiai” di desa-desa yang tujuannya untuk
melakukan kegiatan distribusi barang yang jumlahnya semakin hari semakin
kurang karena situasi perang dan tekanan ekonomi Internasional (misalnya
gula pasir, minyak tanah, beras, rokok dan sebagainya). Di lain pihak
Pemerintah pendudukan bala tentara Jepang memerlukan barang-barang
yang dinilai penting untuk dikirim ke Jepang (misalnya biji jarak, hasil-hasil
bumi yang lain, besi tua dan sebagainya) yang untuk itu masyarakat agar
menyetorkannya melalui “Kumiai”. Kumiai (koperasi) dijadikan alat
kebijaksanaan dari Pemerintah bala tentara Jepang sejalan dengan
kepentingannya. Peranan koperasi sebagaimana dilaksanakan pada zaman
Pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang tersebut sangat merugikan
bagi para anggota dan masyarakat pada umumnya.

PERTUMBUHAN KOPERASI SETELAH KEMERDEKAAN
Gerakan koperasi di Indonesia yang lahir pada akhir abad 19 dalam
suasana sebagai Negara jajahan tidak memiliki suatu iklim yang
menguntungkan bagi pertumbuhannya. Baru kemudian setelah Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya, dengan tegas perkoperasian ditulis di
dalam UUD 1945. DR. H. Moh Hatta sebagai salah seorang “Founding
Father” Republik Indonesia, berusaha memasukkan rumusan perkoperasian
di dalam “konstitusi”. Sejak kemerdekaan itu pula koperasi di Indonesia
mengalami suatu perkembangan yang lebih baik. Pasal 33 UUD 1945 ayat 1
beserta penjelasannya menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Dalam penjelasannya
disebutkan bahwa bangun perekonomian yang sesuai dengan azas
kekeluargaan tersebut adalah koperasi. Di dalam pasal 33 UUd 1945 tersebut
diatur pula di samping koperasi, juga peranan daripada Badan Usaha Milik
Negara dan Badan Usaha Milik Swasta.
Pada akhir 1946, Jawatan Koperasi mengadakan pendaftaran
koperasi dan tercatat sebanyak 2500 buah koperasi di seluruh Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia bertindak aktif dalam pengembangan
perkoperasian. Disamping menganjurkan berdirinya berbagai jenis koperasi
Pemerintah RI berusaha memperluas dan menyebarkan pengetahuantentang
koperasi dengan jalan mengadakan kursus-kursus koperasi di berbagai
tempat.
Pada tanggal 12 Juli 1947 diselenggarakan kongres koperasi se Jawa
yang pertama di Tasikmalaya. Dalam kongres tersebut diputuskan antara lain
terbentuknya Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia yang disingkat
SOKRI; menjadikan tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi serta
menganjurkan diselenggarakan pendidikan koperasi di kalangan pengurus,
pegawai dan masyarakat. Selanjutnya, koperasi pertumbuhannya semakin
pesat. Tetapi dengan terjadinya agresi I dan agresi II dari pihak Belanda
terhadap Republik Indonesia serta pemberontakan PKI di Madiunpada tahun
1948 banyak merugikan terhadap gerakan koperasi.
Pada tahun 1949 diterbitkan Peraturan Perkoperasian yang dimuat di
dalam Staatsblad No. 179. Peraturan ini dikeluarkan pada waktu Pemerintah
Federal Belanda menguasai sebagian wilayah Indonesia yang isinya hampir
sama dengan Peraturan Koperasi yang dimuat di dalam Staatsblad No. 91
tahun 1927, dimana ketentuan-ketentuannya sudah kurang sesuai dengan
keadaan Inidonesia sehingga tidak memberikan dampak yang berarti bagi
perkembangan koperasi.
Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun
1950 program Pemerintah semakin nyata keinginannya untuk
mengembangkan perkoperasian.Kabinet Mohammad Natsir menjelaskan di
muka Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan dengan program
perekonomian antara lain sebagai berikut :
“Menggiatkan pembangunan organisasi-organisasi
rakyat , istimewa koperasi dengan cara pendidikan, penerangan, pemberian
kredit yang lebih banyak dan lebih mudah, satu dan lain seimbang dengan
kemampuan keuangan Negara”.
Untuk memperbaiki perekonomian-perekonomian rakyat Kabinet
Wilopo antara lain mengajukan suatu “program koperasi” yang terdiri dari tiga
bagian, yaitu :
a. Usaha untuk menciptakan suasana dan keadaan sebaik-baiknya bagi
perkembangan gerakan koperasi;
b. Usaha lanjutan dari perkembangan gerakan koperasi;
c. Usaha yang mengurus perusahaan rakyat yang dapat diselenggarakan
atas dasar koperasi.
Selanjutnya Kabinet Ali Sastroamidjodjo menjelaskan program
Pemerintahannya sebagai berikut :
”Untuk kepentingan pembangunan dalam
lapangan perekonomian rakyat perlu pula diperluas dan dipergiat gerakan
koperasi yang harus disesuaikan dengan semangat gotong royong yang
spesifik di Indonesia dan besar artinya dalam usaha menggerakkan rasa
percaya pada diri sendiri di kalangan rakyat. Di samping itu Pemerintah
hendak menyokong usaha itu dengan memperbaiki dan memperlluas
perkreditan, yang terpenting antara lain dengan pemberian modal kepada
badan-badan perkreditan desa seperti Lumbung dan Bank Desa, yang
sedapat-dapatnya disusun dalam bentuk koperasi” (Sumodiwirjo 1954, h. 45-
46).
Sejalan dengan kebijaksanaan Pemerintah sebagaimana tersebut di
atas, koperasi makin berkembang dari tahun ketahun baik organisasi maupun
usahanya.
Selanjutnya pada tanggal 15 sampai dengan 17 Juli 1953
dilangsungkan kongres koperasi Indonesia yang ke II di Bandung.
Keputusannya antara lain merubah Sentral Organisasi Koperasi Rakyat
Indonesia (SOKRI) menjadi Dewan Koperasi Indonesia (DKI). Di samping itu
mewajibkan DKI membentuk Lembaga Pendidikan Koperasi dan mendirikan
Sekolah Menengah Koperasi di Provinsi-provinsi. Keputusan yang lain ialah
penyampaian saran-saran kepada Pemerintah untuk segera diterbitkannya
Undang-Undang Koperasi yang baru serta mengangkat Bung Hatta sebagai
Bapak Koperasi Indonesia.
Pada tahun 1956 tanggal 1 sampai 5 September diselenggarakan
Kongres Koperasi yang ke III di Jakarta. Keputusan KOngres di samping halhal
yang berkaitan dengan kehidupan perkoperasian di Indonesia, juga
mengenai hubungan Dewan Koperasi Indonesia dengan International
Cooperative Alliance (ICA).
Pada tahun 1958 diterbitkan Undang-Undang tentang Perkumpulan
Koperasi No. 79 Tahun 1958 yang dimuat di dalam Tambahan Lembar
Negara RI No. 1669. Undang-Undang ini disusun dalam suasana Undang-
Undang Dasar Sementara 1950 dan mulai berlaku pada tanggal 27 Oktober
1958. Isinya lebih biak dan lebih lengkap jika dibandingkan dengan
peraturan-peraturan koperasi sebelumnya dan merupakan Undang-Undang
yang pertama tentang perkoperasian yang disusun oleh Bangsa Indonesia
sendiri dalam suasana kemerdekaan.
Perlu dipahami bersama perbedaan sikap Pemerintah terhadap
pengembangan perkoperasian atas dasar perkembangan sejarah
pertumbuhannya di Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Pemerintahan Kolonial Belanda bersikap pasif;
b. Pemerintahan Pendudukan Balatentara Jepang bersikap aktif
negatif, karena akibat kebijaksanaannya nama koperasi menjadi
hancur (jelek);
c. Bersikap aktif positif di mana Pemerintah Republik Indonesia
memberikan dorongan kesempatan dan kemudahan bagi koperasi.
Tabel berikut menunjukkan perkembangan koperasi pada saat-saat
akhir Pemerintahan Kolonial Belanda dan angka perkembangan koperasi
setelah Indonesia merdeka sampai dengan tahun 1959, dengan catatan
angka-angka perkembangan koperasi pada zaman Pemerintahan
Pendudukan Balatentara Jepang tidak tersedia.

PERKEMBANGAN KOPERASI DALAM SISTEM EKONOMI TERPIMPIN
Dalam tahun 1959 terjadi suatu peristiwa yang sangat penting dalam
sejarah bangsa Indonesia. Setelah Konstituante tidak dapat menyelesaikan
tugas menyusun Undang-Undang Dasar Baru pada waktunya, maka pada
tanggal 15 Juli 1959 Presiden Soekarno yang juga selaku PAnglima Tertinggi
Angkatan Perang mengucapkan Dekrit Presiden yang memuat keputusan
dan salahsatu daripadanya ialah menetapkan Undang-Undang Dasar 1945
berlaku bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh Tanah Tumpah Darah
Indonesia, terhitung mulai dari tanggal penetapan dekrit dan tidak berlakunya
lagi Undang-Undang Dasar Sementara. Pada tanggal 17 Agustus 1959
Presiden Soekarno mengucapkan pidato kenegaraan yang berjudul
“Penemuan Kembali Revolusi Kita”, atau lebih dikenal dengan Manifesto
politik (Manipol). Dalam pidato itu diuraikan berbagai persoalan pokok dan
program umum Revolusi Indonesia yang bersifat menyeluruh. Berdasarkan
Ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 pidato itu ditetapkan sebagai Garis-garis
Besar Haluan Negara RI dan pedoman resmi dalam perjuangan
menyelesaikan revolusi. Dampak Dekrit Presiden dan Manipol terhadap
Undang-Undang No. 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi adalah
undang-undang yang belum berumur panjang itu telah kehilangan dasar dan
tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat UUD 1945 dan Manipol.
Karenanya untuk mengatasi keadaan itu maka di samping Undang-Undang
No. 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi dikeluarkan pula
Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1959 tentang Perkembangan Gerakan
Koperasi (dimuat dalam Tambahan aLembaran Negara No. 1907).
Peratuarn ini dibuat sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-
Undang No. 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi dan merupakan
penyempurnaan dari hal-hal yang belum diatur dalam Undang-Undang
tersebut. Peraturan itu membawa konsep pengembangan koperasi secara
missal dan seragam dan dikeluarkan berdasarkan pertimbanganpertimbangan
sebagai berikut :
(1) Menyesuaikan fungsi koperasi dengan jiwa dan semangat UUD 1945
dan Manipol RI tanggal 17 Agustus 1959, dimana koperasi diberi
peranan sedemikian rupa sehingga kegiatan dan penyelenggaraannya
benar-benar dapat merupakan alat untuk melaksanakan ekonomi
terpimpin berdasarkan sosialisme ala Indonesia, sendi kehidupan
ekonomi bangsa Indonesia dan dasar untuk mengatur perekonomian
rakyat guna mencapai taraf hidup yang layak dalam susunan
masyarakat adil dan makmur yang demokratis;
(2) Bahwa pemerintah wajib mengambil sikap yang aktif dalam membina
Gerakan Koperasi berdasarkan azas-azas demokrasi terpimpin, yaitu
menumbuhkan, mendorong, membimbing, melindungi dan mengawasi
perkembangan Gerakan Koperasi, dan;
(3) Bahwa dengan menyerahkan penyelenggaraan koperasi kepada
inisiatif Gerakan Koperasi sendiri dalam taraf sekarang bukan saja
tidakk mencapai tujuan untuk membendung arus kapitalisme dan
liberalism, tetapi juga tidak menjamin bentuk organisasi dan cara
bekerja yang sehat sesuai dengan azas-azas koperasi yang
sebenarnya (Sularso 1988, h. VI-VII).
Dalam tahun 1960 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah
No. 140 tentang penyaluran bahan pokok dan penugasan Koperasi untuk
melaksanakannya. Dengan peraturan ini maka mulai ditumbuhkan koperasikoperasi
konsumsi. Penumbuhan koperasi oleh Pemerintah secara missal
dan seragam tanpa memperhatikan syarat-syarat pertumbuhannya yang
sehat, telah mengakibatkan pertumbuhan koperasi yang kurang sehat. Lebih
jauh dari itu Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960 menetapkan bahwa sector
perekonomian akan diatur dengan dua sektor yakni sector Negara dan sector
koperasi, dimana sector swasta hanya ditugaskan untuk membantu. Pada
saat mulai dikemukakan ide pengaturan ekonomi dengan prinsip Demokrasi
dan Ekoomi Terpimpin. Undang-undang No. 79 tahun 1958 tentang
Perkembangan Gerakan Koperasi. Peraturan ini membawa konsep
pengembangan koperasi secara massal dan seragam.
Pada tahun 1961 diselenggarakan Musyawarah Nasional KOperasi I
(Munaskop I) di Surabaya untuk melaksanakan prinsip Demokrasi Terpimpin
dan Ekonomi Terpimpin. Langkah-langkah mempolitikankan (verpolitisering)
koperasi mulai nampak. Dewan Koperasi Indonesia diganti dengan Kesatuan
Organisasi KOperasi Seluruh Indonesia (KOKSI) yang bukan semata-mata
organisasi koperasi sendiri malainkan organisasi koperasi-koperasi yang
dipimpin oleh Pemerintah, dimasa Menteri Transmigrasi, Koperasi dan
Pembangunan Masyarakat Desa (Trasnkopenda) menjadi Ketuanya (Team
UGM, 1984, h.143-144).
Sebagai puncak pengukuhan hokum dari uapaya mempolitikkan
(verpolitisering) koperasi dalam suasana demokrasi terpimpin yakni di
terbitkannya UU No.14 tahun 1965 tentang perkoperasian yang dimuat
didalam Lembaran Negara No. 75 tahun 1960. Salah satu pasal yang
terpenting adalah pasal 5 yang berbunyi :
“Koperasi, struktur, aktivitas dan alat pembinaan serta alat
perlengkapan organisasi koperasi, mencerminkan kegotong-royongan
progresif revolusioner berporoskan Nasakom (Nasional, Agama, Komunis)”.
Dalam memori penjelasannya dinyatakan sebagai berikut :
“Sesuai dengan penjelasan umum perkoperasian (pola koperasi) tidak
dapat dipisahkan dari masalah Revolusi pada umumnya (doktrin Revolusi),
sehingga tantangan-tantangan dari gerakan koperasi hakekatnya merupakan
tantangan daripada Revolusi itu sendiri”
Pengalaman-pengalaman perjuangan kita dalam menghadapi
tantangan-tantangan tersebut, menunjukkan keharusan obyektif adanya
persatuan dan kesatuan segenap potensi dan kekuatan rakyat yang progresif
Revolusioner berporos Nasakom, yang pelaksanaannya diatur dengan
kegotong-royongan antara Pemerintah dengan kekuatan-kekuatan Nsakom.
Selanjutnya peranan gerakan koperasi dalam demokrasi terpimpin dan
ekonomi terpimpin diatur didalam pasal 6 dan pasal 7. Pasal 6 berbunyi
sebagai berikut : “ Gerakan Koperasi mempunyai peranan :
a) Dalam tahap nasional demokrasis :
1. Mempersatukan dan memobilisir seluruh rakyat pekerja dan produsen
kecil yang merupakan tenaga-tenaga produktif untuk meningkatkan
produksi, mengadilkan dan meratakan distribusi;
2. Ikut serta menghapus sisa-sisa imperalisme, kolonialisme dan
feodalisme;
3. Membantu memperkuat sector ekonomi Negara yang memegang
posisi memimpin;
4. Menciptakan syarat-syarat bagi pembangunan masyarakat sosialis
Indonesia.
b) Dalam Tahap sosialisme Indonesia :
1. Menyelenggarakan tata ekonomi tanpa adanya penghisapan oleh
manusia atas manusia;
2. Meningkatkan tingkat hidup rakyat jasmaniah dan rokhaniah;
3. Membina dan mengembangkan swadaya dan daya kreatif rakyat
sebagai perwujudan masyarakat gotong-royong.”
Pasal 7 menyatakan sebagai berikut :
1. “Pemerintah menetapkan kebijaksanaan pokok perkoperasian.
2. Dengan Peraturan Pemerintah diatur hubungan antara gerakan koperasi
dengan Pemerintah, Perusahaan Negara/Perusahaan Daerah dan swasta
bukan koperasi”. Memori penjelasannya menyatakan : “Untuk menjamin
azas Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi Terpimpin kebijaksanaan
perkoperasian ditetapkan oleh Pemerintah”.
Bersamaan dengan disyahkannya UU No. 14 tahuhn 1965
dilangsungkan Musyawarah Nasional KOperasi (Munaskop) II di Jakarta yang
pada dasarnya merupakan ajang legitiminasi terhadap masuknya kekuatankekuatan
politik di dalam koperasi sebagaimana diatur oleh UU
Perkoperasian tersebut. Dalam kesempatan tersebut, juga diputuskan bahwa
KOKSI (Kesatuan Organisasi Koperasi Seluruh Indonesia) Menyatakan
keluar dari keanggotaan ICA.
Tindakan berselang lama yakni dalam bulan September 1965 terjadi
pemberontakan Gerakan 30 September yang didalangi oleh Partai Komunis
Indonesia (PKI) yang terpengaruh besar terhadap pengembangan koperasi.
Mengingat dalam UU no. 14 tahun 1965 secara tegas memasukan warna
politik di dalam kehidupan perkoperasian, maka akibat pemberontakan
G30S/PKI pelaksanaanya perlu di pertimbangkan kembali. Bahkan segera
disusul langkah-langkah memurnikan kembali kekoprasi kepada azas-azas
yang murni dengan cara “ deverpolitisering “. Koperasi-koperasi
menyelenggarakan rapat anggota untuk memperbaharui kepengurusan dan
Badan Pemeriksaannya. Reorganisasi dilaksanakan secara menyeluruh
untuk memurnikan koperasi di atas azas-azas koperasi yang sebenarnya
(murni).

PERKEMBANGAN KOPERASI PADA MASA ORDE BARU
Pemberontakan G30S/PKI merupakan malapetaka besar bagi rakyat
dan bangsa Indonesia. Demikian pula hal tersebut didalami oleh gerakan
koperasi di Indonesia. Oleh karena itu dengan kebulatan tekad rakyat dan
bangsa Indonesia untuk kembali dan melaksanakan UUD-1945 dan
Pancasila secara murni dan konsekwen, maka gerakan koperasi di Indonesia
tidak terkecuali untuk melaksanakannya. Semangat Orde Baru yang dimulai
titik awalnya 11 Maret 1996 segera setelah itu pada tanggal 18 Desember
1967 telah dilahirkan Undang-Undang Koperasi yang baru yakni dikenal
dengan UU No. 12/1967 tentang Pokok-pokok Perkopersian.
Konsideran UU No. 12/1967 tersebut adalah sebagai berikut ;
1. Bahwa Undang-Undang No. 14 Tahun 1965 tentang Perkoperasian
mengandung pikiran-pikiran yang nyata-nyata hendak :
a. menempatkan fungsi dan peranan koperasi sebagai abdi langsung
daripada politik. Sehingga mengabaikan koperasi sebagai wadah
perjuangan ekonomi rakyat.
b. menyelewengkan landasan-landasan, azas-azas dan sendi-sendi
dasar koperasi dari kemrniannya.
2. a. Bahwa berhubung dengan itu perlu dibentuk Undang-Undang baru yang
sesuai dengan semangat dan jiwa Orde Baru sebagaimana dituangkan
dalam Ketepatan-ketepatan MPRS Sidang ke IV dan Sidang Istimewa
untuk memungkinkan bagi koperasi mendapatkan kedudukan hokum
dan tempat yang semestinya sebagai wadah organisasi perjuangan
ekonomi rakyat yang berwatak sosial dan sebagai alat
pendemokrasian ekonomi nasional.
b. Bahwa koperasi bersama-sama dengan sector ekonomi Negara dan
swasta bergerak di segala sektor ekonomi Negara dan swasta
bergerak di segala kegiatan dan kehidupan ekonomi bangsa dalam
rangka memampukan dirinya bagi usaha-usaha untuk mewujudkan
masyarakat Sosialisme Indonesia berdasarkan Panvcasila yang adil
dan makmur di ridhoi Tuhan Yang Maha Esa.
3. Bahwa berhubungan dengan itu, maka Undang-Undang No. 14 tahun
1965 perlu dicabut dan perlu mencerminkan jiwa, serta cita-cita yang
terkandung dalam jelas menyatakan, bahwa perekonomian Indonesia
disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan
dan koperasi adalah satu bangunan usaha yang sesuai dengan susunan
perekonomian yang dimaksud itu. Berdasarkan pada ketentuan itu dan
untuk mencapai cita-cita tersebut Pemerintah mempunyai kewajiban
membimbing dan membina perkoperasian Indonesia dengan sikap “ ing
ngarsa sung tulada, ing madya mbangun karsa, tut wuri handayani “.
Dalam rangka kembali kepada kemurnian pelaksanaan Undang-
Undang Dasar 1954, sesuai pula dengan Ketetapan MPRS No.
XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi,
Keuangan dan Pembangunan, maka peninjauan serta perombakan Undang-
Undang No. 14 tahun 1965 tentang Perkoperasian merupakan suatu
keharusan karena baik isi maupun jiwanya Undang-Undang tersebut
mengandung hal-hal yang bertentangan dengan azas-azas pokok, landasan
kerja serta landasan idiil koperasi, sehingga akan menghambat kehidupan
dan perkembangan serta mengaburkan hakekat koperasi sebagai organisasi
ekonomi rakyat yang demokratis dan berwatak social.
Peranan Pemerintah yang terlalu jauh dalam mengatur masalah
perkoperasian Indonesia sebagaimana telah tercermin di masa yang lampau
pada hakekatnya tidak bersifat melindungi, bahkan sangat membatasi gerak
serta pelaksanaan strategi dasar perekonomian yang tidak sesuai dengan
jiwa dan makna Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33. Hal yang demikian itu
akan menghambat langkah serta keswakertaan yang sesungguhnya
merupakan unsur pokok dari azas-azas percaya pada diri sendiri yang pada
gilirannya akan dapat merugikan masyarakat sendiri.
Oleh karenanya sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966
dianggap perlu untuk mencabut dan mengganti Undang-Undang No. 14
tahun 1965 tentang Perkoprasian tersebut dengan Undang-Undang baru
yang benar-benar dapat menempatkan koperasi pada fungsi yang
semestinya yakni sebagai alat dari Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33
ayat (1)
Di bidang idiil, koperasi Indonesia merupakan satu-satunya wadah
untuk menyusun perekonomian rakyat berazaskan kekeluargaan dan
kegotong-royongan yang merupakan cirri khas dari tata kehidupan bangsa
Indonesia dengan tidak memandang golongan, aliran maupun kepercayaan
yang dianut seseorang. Kiperasi sebagai alat pendemokrasian ekonomi
nasional dilaksanakan dalan rangka dalam rangka politik maupun perjuangan
bangsa Indonesia.
Di bidang organisasi koperasi Indonesia menjamin adanya hak-hak
individu serta memegamg teguh azas-azas demokrasi. Rapat Anggota
merupakan kekuasaan tertinggi di dalam tata kehidupan koperasi,
Koperasi mendasarkan geraknya pada aktivitas ekonomi dengan tidak
meninggalkan azasnya yakni kekeluargaan dan gotong-royong.
Dengan berpedoman kepada Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966
Pemerintah memberikan bimbingan kepada koperasi dengan sikap seperti
tersebut di atas serta memberikan perlindungan agar koperasi benar-benar
mampu melaksanakan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 beserta
penjelasannya.
Menurut pasal. 3 UU No. 12/1967, koperasi Indonesia adalah
organisasi ekonomi rakyat yang berwatak social, beranggotakan orang-orang
atau badan hukum koperasi yang merupakan tata azas kekeluargaan.
Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa “ koperasi Indonesia adalah
kumpulan orang-orang yang sebagai manusia secara bersamaan, bekerja
untuk memajukan kepentingan-kepentingan ekonomi mereka dan
kepentingan masyarakat.
Dari pengertian umum di atas, maka ciri-ciri seperti di bawah ini
seharusnya selalu nampak:
a. Bahwa koperasi Indonesia adalah kumpulan orang-orang dan bukan
kumpulan modal. Pengaruh dan penggunaan modal dalam koperasi
Indonesia tidak boleh mengurangi makna dan tidak boleh mengaburkan
pengertian koperasi Indonesia berdasarkan perkumpulan orang-orang
dan bukan sebagai perkumpulan modal. Ini berarti bahwa koperasi
Indonesia harus benar-benar mengabdikan kepada perikemanusiaan
dan bukan kepada kebendaan;
b. bahwa koperasi Indonesia bekerjasama, bergotong-royong berdasarkan
persamaan derajat, hak dan kewajiban yang berarti koperasi adalah dan
seharusnya merupakan wadah demokrasi ekonomi dan social. Karena
dasar demokrasi ini, milik para anggota sendiri dan pada dasarnya harus
diatur serta diurus sesuai dengan keinginan para anggota yang berarti
bahwa hak tertinggi dalam koperasi terletak pada Rapat Anggota.
c. Bahwa segala kegiatan koperasi Indonesia harus didasarkan atas
kesadaran para anggota. Dalam koperasi tidak boleh dilakukan
paksaan, ancaman, intimidasi dan campur tangan dari pihak-pihak lain
yang tidak ada sangkut-pautnya dengan soal-soal intern koperasi;
d. Bahwa tujuan koperasi Indonesia harus benar-benar merupakan
kepentingan bersama dari para anggotanya dan disumbangkan para
anggota masing-masing. Ikut sertanya anggota sesuai dengan kecilnya
karya dan jasanya harus dicerminkan pula dalam hal pembagian
pendapatan dalam koperasi”.
Dengan berlakunya UU No. 12/1967 koperasi-koperasi yang telah
berdiri harus melaksanakan penyesuaian dengan cara menyelenggarakan
Anggaran dan mengesahkan Anggaran Dasar yang sesuai dengan Undang-
Undang tersebut. Dari 65.000 buah koperasi yang telah berdiri ternyata yang
memenuhi syarat sekitar 15.000 buah koperasi saja. Sedangkan selebihnya
koperasi-koperasi tersebut harus dibubarkan dengan alasan tidak dapat
menyesuaikan terhadap UU No. 12/1967 dikarenakan hal-hal sebagai
berikut:
a. koperasi tersebut sudah tidak memiliki anggota ataupun pengurus serta
Badan Pemeriksa, sedangkan yang masih tersisa adalah papan nama;
b. sebagian besar pengurus dan ataupun anggota koperasi yang
bersangkutan terlibat G30S/PKI ;
c. koperasi yang bersangkutan pada saat berdirinya tidak dilandasi oleh
kepentingan-kepentingan ekonomi, tetapi lebih cenderung karena
dorongan politik pada waktu itu ;
d. koperasi yang bersangkutan didirikan atas dasar fasilitas yang tesedia,
selanjutnya setelah tidak tersedia fasilitas maka praktis koperasi telah
terhenti.
Sejak awal Pelita I pelaksanaan pembangunan telah diarahkan untuk
menyentuh segala kehidupan bangsa sebagai suatu gerak perubahan kearah
kemajuan. Seperti halnya Negara-negara berkembang yang menderita
penjajahan di masa lalu, maka pembangunan yang berlangsung dalam suatu
hubungan kemasyarakatan yang terbentuk dalam kemerdekaan, merupakan
gerak perubahan yang bersifat mendasar dan menyeluruh. Dalam kaitan ini,
proses pembangunan yang berlangsung dalam periode transisional dari
hubungan saling pengaruh mempengaruti yang berlaku dalam lingkungan
masyarakat colonial kea rah susunan dan hubungan kemasyarakatan baru,
sungguh merupakan pekerjaan besar yang tidak mudah.
Periode pelita I pembangunan perkoperasian menitikbertkan pada
investasi pengetahuan dan ketrampilan orang-orang koperasi, baik sebagai
orang gerakan koperasi maupun pejabat-pejabat perkoperasian. Untuk
memberikan peranan pada koperasi di masa dating sebagai konsekuensi
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (1), maka koperasi-koperasi perlu
dilandasi lebih dulu dengan jiwa koperasi yang mendalam, perlengjkapan
perlengkapan pengetahuan dan ketrampilan di bidang mental, organisasi,
usaha dan ketatalaksanaan agar mampu terjun di tengah-tengah arena
pembangunan. Untuk melaksanakan tujuan ini maka Pemerintah
membangun Pusat-pusat Pendidikan Koperasi (PUSDIKOP) di tingkat Pusat
dan juga di tiap ibukota Propinsi. Pusat Pendidikan Koperasi tersebut
sekarang dirubah menjadi Pusat Latihan dan Penataran Perkoperasian
(PUSLATPENKOP) di tingkat Pusat dan Balai Latihan Perkoperasian
(BALATKOP) di tingkat Daerah.
Di samping investasi mental ini telah dimulai pula rintisan investasi fisik
dan financial untuk melatih koperasi bergerak di bidang ekonomi. Untuk itu
maka di samping pembinaan usaha dan tatalaksana didirikan pula Lembaga
Jaminan Kredit Koperasi (LJKK) di tahun 1970 yang menjamin pinjamanpinjaman
koperasi dari bank-bank Pemerintah, secara selektif dan bertahap.
Di samping itu LJKK juga berperan untuk ikut dalam partisipasi modal pada
proyek kredit investasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam
kebijakan tertentu, Pemerintah atas dasar pertimbangannya apabila dinilai
bunga atas sesuatu kredit pada koperasi terlalu tinggi, LJKK memberikan
subsidi bunga. Sekarang Lembaga Jaminan Kredit Koperasi (LJKK) dirubah
statusnya menjadi Perusahaan Umum Pengembangan Keuangan Koperasi
(PERUM PKK).
Untuk mengatasi kelemahan organisasi dan memajukan manajemen
koperasi maka sejak tahun1972 dikembangkan penggabungan koperasikoperasi
kecil menjadi koperasi-koperasi yang besar. Daerah-daerah di
pedesaan dibagi dalam wilayah-wilayah Unit Desa (WILUD) dan koperasikoperasi
yang yang ada dalam wilayah unit desa tersebut digabungkan
menjadi organisasi yang besar dan dinamakan Badan Usaha Unit Desa
(BUUD). Pada akhirnya koperasi-koperasi desa yang bergabung itu
dibubarkan, selanjutnya BUUD menjelmas menjadi KUD (Koperasi Unit
Desa). Karena secara ekonomi menjadi besar dan kuat, maka BUUD/KUD itu
mampu membiayai tenaga-tenaga yang cakap seperti manajer, juru buku,
juru mesin, juru toko dan lain-lain. Juga BUUD/KUD itu dipercayai untuk
meminjam uang dari Bank dan membeli barang-barang produksi yang lebih
modern, sesuai dengan tuntutan kemajuanzaman (mesin gilingan padi,
traktor, pompa air, mesin penyemprot hama dan lain-lain). Ketentuan
ketentuan yang mengatur tentang Wilayah Unit Desa, BUUD/KUD dituangkan
dalam Instruksi Presiden No.4/1973 yang selanjutnya diperbaharui menjadi
Instruksi Presiden No.2/1978 dan kemudian disempurnakan menjadi Instruksi
Presiden No.4/1984.
Dalam kenyataannya meskipun arus sumber-sumber daya
pembangunan yang dicurahkan untuk mengatasi kemiskinan, khususnya di
daerah-daerah pedesaan, belum pernah sebesar seperti dalam era
pembangunan selama ini, namun kita sadarai sepenuhnya bahwa gejala
kemiskinan dalam bentuk yang lama maupun yang baru masih dirasakan
sebagai masalah mendasar dalam pembangunan nasional.
Keadaan yang telah berlangsung lama tersebut membuat masyarakat
yang tergolong miskin dan lemah ekonominya belum pernah mampu untuk
ikut memanfaatkan secara optimal berbagai sumber pendapatan yang
sebenarnya tersedia. Pada umumnya masyarakat yang termasuk golongan
ini antara lain : kelompok petani, buruh tani, nelayan yang hidup di desa-desa
dan kelompok pekerja kasar di kota-kota bahkan meliputi pula kelompok
penerima dengan hasil tetap seperti karyawan-karyawan perusahaan serta
pegawai-pegawai kecil. Mereka miskin dan lemah karena mereka tidak
memiliki modal yang cukup dan ketrampilan serta pendidikan yang layak.
Namun demikian, di samping kelemahan yang ada, dapat pula dicatat
berbagai potensi yang mereka miliki. Potensi dan kekuatan tersebut antara
lain :
(1). bahwa ada kemauan dan kemampuan bekerja keras dan keuletan untuk
dapat tumbuh dan berkembang;
(2). bahwa sebagian besar dari mereka adalah pekerja dalam bidang
pertanian yang mempengaruhi dan menentukan kekuatan
perkekonomian nasional;
(3). bahwa sejumlah besar mereka (70 sampai dengan 80% rakyat
Indonesia tinggal di daerah pedesaan); dan
(4). bahwa pada dasarnya mereka memiliki potensi social ekonomi yang
dapat dikembangkan lebih lanjut melalui pendekatan pembangunan
yang bersifat khusus.
Sedangkan untuk keberhasilan koperasi di dalam melaksanakan
peranannya perlu diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut :
1. Kemampuan menciptakan posisi pasar dan pengawasan harga yang
layak oleh, dengan cara :
a. bertindak bersama dalam menghadapi pasar melalui pemusatan
kekuatan bersaing dari anggota;
b. memperpendek jaringan pemasaran;
c. Memiliki manajer yang cukup trampil berpengetahuan luas dan
memiliki idealisme;
d. Mempunyai dan meningkatkan kemampuan koperasi sebagai satu
unit usaha dalam mengatur jumlah dan kualitas barang-barang yang
dipasarkan melalui kegiatan pergudangan, penelitian kualitas yang
cermat dan sebagainya.
2. Kemampuan koperasi untuk menghimpun dan menanamkan kembali
modal, dengan cara pemupukan pelbagai sumber keuangan dari
sejumlah besar anggota.
3. Penggunaan faktor-faktor produksi yang lebih ekonomis melalui
pembebanan biaya over head yang lebih, dan mengusahakan
peningkatan kapasitas yang pada akhirnya dapat menghasilkan biaya
per unit yang relative kecil
4. Terciptanya ketrampilan teknis di bidang produksi, pengolahan dan
pemasaran yang tidak mungkin dapat dicapai oleh para anggota secara
sendiri-sendiri.
5. Pembebasan resiko dari anggota-anggota kepada koperasi sebagai satu
unit usaha, yang selanjutnya hal tersebut kembali ditanggung secara
bersama di antara anggota-anggotanya.
6. Pengaruh dari koperasi terhadap anggota-anggotanya yang berkaitan
dengan perubahan sikap dan tingkah laku yang lebih sesuai dengan
perubahan tuntutan lingkungan di antaranya perubahan teknologi,
perubahan pasar dan dinamika masyarakat.
Pemerintah di dalam mendorong perkoperasian telah menerbitkan
sejumlah kebijaksanaan-kebijaksanaan baik yang menyangkut di dalam
pengembangan di bidang kelembagaan, di bidang usaha, di bidang
pembiayaan dan jaminan kredit koperasi serta kebijaksanaan di dalam
rangka penelitian dan pengembangan perkoperasian.
Garis-Garis Besar haluan Negara 1988 menetapkan bahwa koperasi
dimungkinkan bergerak di berbagai sector kegiatan ekonomi, misalnya
sektor-sektor : pertanian, industri, keuangan, perdagangan, angkutan dan
sebagainya.
Dalam pola umum Pelita ke lima menyebutkan bahwa : “Dunia usaha
nasional yang terdiri dari usaha Negara koperasi dan usaha swasta perlu
terus dikembangkan menjadi usaha yang sehat dan tangguh dan diarahkan
agar mampu meningkatkan kegairahan dan kegiatan ekonomi serta
pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, memperluas lapangan kerja,
meningkatkan taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan rakyat, serta
memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa dan memantapkan ketahanan
nasional. Dalam hal ini perlu diperluas kesempatan berusaha serta ditumbuh
kembangkan swadaya dan kemampuan berusaha khususnya bagi koperasi,
usaha kecil serta usaha informal dan tradisional, baik usaha masyarakat di
pedesaan maupun di perkotaan. Selanjutnya perlu disiptakan iklim usaha
yang sehat serta tata hubungan yang mendorong tumbuhnya kondisi saling
menunjang antara usaha Negara, usaha koperasi dan usaha swasta
keterkaitan yang saling menguntungkan dan adil sntara golongan ekonomi
kuat dan golongan ekonomi lemah “ (butir 2).
Untuk mewujudkan demokrasi ekonomi seperti yang dikehendaki
dalam undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 1 berikut penjelasan, Pola
Umum Pelita V juga menyebutkan : “Dalam rangka mewujudkan demokrasi
ekonomi, koperasi harus makin dikembangkan dan ditingkatkan
kemampuannya serta dibina dan dikelola secara efisien. Dalam rangka
meningkatkan peranan koperasi dalam kehidupan ekonomi nasional,
koperasi perlu dimasyarakatkan agar dapat tumbuh dan berkembang sebagai
gerakan dari masyarakat sendiri. Koperasi di bidang produksi, konsumsi,
pemasaran dan jasa perlu terus didorong, serta dikembangkan dan
ditingkatkan kemampuannya agar makin mandiri dan mampu menjadi pelaku
uatama dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Pembinaan yang tepat atas
koperasi dapat tumbuh dan berkembang secara sehat serta hasil-hasil
usahanya makin dinikmati oleh para anggotanya, Koperasi Unit Desa (KUD)
perlu terus dibina dan dikembangkan agar tumbuh sehat dan kuat sehingga
koperasi akan semakin berakar dan peranannya makin besar dalam
kehidupan sosial ekonomi masyarakat terutama di pedesaan “ (butir d. 33).
Dalam Pelita V kebijakan pembangunan tetap bertumpu pada trilogy
pembangunan dengan menekankan pemerataa pembangunan dan hasilhasilnya
menuju terciptanya keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia,
yang disertai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi serta stabilitas yang
mantap. Ketiga unsure Trilogi Pembangunan tersebut saling mengkait dan
saling memperkuat serta perlu dikembangkan secara selaras, serasi dan
seimbang.
Dalam memperkokoh kerangka landasan untuk tinggal landas dibidang
ekonomi, peranan koperasi merupakan aspek yang strategis di samping
peran pelaku ekonomi lainnya. Kopperasi harus tumbuh kuat dan mampu
menangani seluruh aspek kegiatan dibidang pertanian, industry yang kuat
dan dibidang perdagangan barang-barang kebutuhan pokok masyarakat.
Sejalan dengan prioritas pembangunan nasional, dalam Pelita V masih
terpusatkan pada sector pertanian, maka prioritas pembinaan koperasi
mengikuti pola tersebut dengan memprioritaskan pembinaan 2.000 sampai
dengan 4.000 KUD Mandiri tanpa mengabaikan pembinaan-pembinaan
terhadap koperasi jenis lain.
Adapun tujuan pembinaan dan pengembangan KUD Mandiri adalah
untuk mewujudkan KUD yang memiliki kemampuan manajemen koperasi
yang rasional dan efektip dalam mengembangkan kegiatan ekonomi para
anggotanya berdasarkan atas kebutuhan dan keputusan para anggota KUD.
Dengan kemampuan itu KUD diharapkan dapat melaksanakan fungsi
utamanya yaitu melayani para anggotanya, seperti melayani perkreditan,
penyaluran barang dan pemasaran hasil produksi.
Dalam rangka pengembangan KUD mandiri telah diterbitkan
INSTRUKSI MENTERI KOPERASI No. 04/Ins/M/VI/1988 tentang Pedoman
Pembinaan dan Pengembangan KUD mandiri. Pembinaan dan
Pengembangan KUD mandiri diarahkan :
1. Menumbuhkan kemampuan perekonomian masyarakat khusunya di
pedesaan.
2. Meningkatkan peranannya yang lebih besar dalam perekonomian
nasional.
3. Memberikan manfaat yang sebesar-besarnya dalam peningkatan kegiatan
ekonomi dan pendapatan yang adil kepada anggotanya.
Ukuran-ukuran yang digunakan untk menilai apakah suatu KUD sudah
mandiri atau belum adalah sebagai berikut :
1. Mempunyai anggota penuh minimal 25 % dari jumlah penduduk dewasa
yang memenuhi persyaratan kenggotaan KUD di daerah kerjanya.
2. Dalam rangka meningkatkan produktivitas usaha anggotany maka
pelayanan kepada anggota minimal 60 % dari volume usaha KUD secara
keseluruhan.
3. Minimal tiga tahun buku berturut-turut RAT dilaksanan tepat pada
waktunya sesuai petunjuk dinas.
4. Anggota Pengurus dan Badan Pemeriksa semua berasal dari anggota
KUD dengan jumlah maksimal untuk pengurus 5 orang dan Badan
Pemeriksa 3 orang.
5. Modal sendiri KUD minimal Rp. 25 juta.
6. Hasil audit laporan keuangan layak tapa catatan (unqualified opinion).
7. Batas toleransi deviasa usaha terhadap rencana usaha KUD (Program
dan Non Program) sebesar 20 %.
8. Ratio Keuangan :
Liquiditas, antara 15 % s/d 200 %.
Solvabilita, minimal 100 %.
9. Total volume usaha harus proposional dengan jumlah anggota, dengan
minimal rata-rata Rp. 250.000,- per anggota per tahun.
10. Pendapatan kotor minimal dapat menutup biaya berdasarkan prinsip
effisiensi.
11. Sarana usaha layak dan dikelola sendiri
12. Tidak ada penyelewengan dan manipulasi yang merugikan KUD oleh
Pengelola KUD.
13. Tidak mempunyai tunggakan.
Keberhasilan atau kegagalan koperasi ditentukan oleh keunggulan
komparatif koperasi. Hal ini dapat dilihat dalam kemampuan koperasi
berkompetisi memberikan pelayanan kepada anggota dan dalam usahanya
tetap hidup (survive) dan berkembang dalam melaksnakan usaha.
Dikutif dr http://one.indoskripsi.com

13 June 2008

Sejarah munculnya ilmu manajamen

Banyak kesulitan yang terjadi dalam melacak sejarah manajemen. Namun diketahui bahwa ilmu manajemen telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Hal ini dibuktikan dengan adanya piramida di Mesir. Piramida tersebut dibangun oleh lebih dari 100.000 orang selama 20 tahun.[1] Piramida Giza tak akan berhasil dibangun jika tidak ada seseorang—tanpa mempedulikan apa sebutan untuk manajer ketika itu—yang merencanakan apa yang harus dilakukan, mengorganisir manusia serta bahan bakunya, memimpin dan mengarahkan para pekerja, dan menegakkan pengendalian tertentu guna menjamin bahwa segala sesuatunya dikerjakan sesuai rencana.
Piramida di Mesir. Pembangunan piramida ini tak mungkin terlaksana tanpa adanya seseorang yang merencanakan, mengorganisasikan dan menggerakan para pekerja, dan mengontrol pembangunannya.
Piramida di Mesir. Pembangunan piramida ini tak mungkin terlaksana tanpa adanya seseorang yang merencanakan, mengorganisasikan dan menggerakan para pekerja, dan mengontrol pembangunannya.

Praktik-praktik manajemen lainnya dapat disaksikan selama tahun 1400-an di kota Venesia, Italia, yang ketika itu menjadi pusat perekonomian dan perdagangan di sana. Penduduk Venesia mengembangkan bentuk awal perusahaan bisnis dan melakukan banyak kegiatan yang lazim terjadi di organisasi modern saat ini. Sebagai contoh, di gudang senjata Venesia, kapal perang diluncurkan sepanjang kanal dan pada tiap-tiap perhentian, bahan baku dan tali layar ditambahkan ke kapal tersebut. Hal ini mirip dengan model lini perakitan (assembly line) yang dikembangkan oleh Hanry Ford untuk merakit mobil-mobilnya. Selain lini perakitan tersebut, orang Venesia memiliki sistem penyimpanan dan pergudangan untuk memantau isinya, manajemen sumber daya manusia untuk mengelola angkatan kerja, dan sistem akuntansi untuk melacak pendapatan dan biaya.[2]

Sebelum abad ke-20, terjadi dua peristiwa penting dalam ilmu manajemen. Peristiwa pertama terjadi pada tahun 1776, ketika Adam Smith menerbitkan sebuah doktrin ekonomi klasik, The Wealth of Nation. Dalam bukunya itu, ia mengemukakan keunggulan ekonomis yang akan diperoleh organisasi dari pembagian kerja (division of labor), yaitu perincian pekerjaan ke dalam tugas-tugas yang spesifik dan berulang. Dengan menggunakan industri pabrik peniti sebagai contoh, Smith mengatakan bahwa dengan sepuluh orang—masing-masing melakukan pekerjaan khusus—perusahaan peniti dapat menghasilkan kurang lebih 48.000 peniti dalam sehari. Akan tetapi, jika setiap orang bekerja sendiri menyelesaikan tiap-tiap bagian pekerjaan, sudah sangat hebat bila mereka mampu menghasilkan sepuluh peniti sehari. Smith menyimpulkan bahwa pembagian kerja dapat meningkatkan produktivitas dengan (1) meningkatnya keterampilan dan kecekatan tiap-tiap pekerja, (2) menghemat waktu yang terbuang dalam pergantian tugas, dan (3) menciptakan mesin dan penemuan lain yang dapat menghemat tenaga kerja.

Peristiwa penting kedua yang mempengaruhi perkembangan ilmu manajemen adalah Revolusi Industri di Inggris. Revolusi Industri menandai dimulainya penggunaan mesin, menggantikan tenaga manusia, yang berakibat pada pindahnya kegiatan produksi dari rumah-rumah menuju tempat khusus yang disebut pabrik. Perpindahan ini mengakibatkan manajer-manajer ketika itu membutuhkan teori yang dapat membantu mereka meramalkan permintaan, memastikan cukupnya persediaan bahan baku, memberikan tugas kepada bawahan, mengarahkan kegiatan sehari-hari, dan lain-lain, sehingga ilmu manajamen mulai dikembangkan oleh para ahli.

Di awal abad ke-20, seorang industriawan Perancis bernama Henry Fayol mengajukan gagasan lima fungsi utama manajemen: merancang, mengorganisasi, memerintah, mengoordinasi, dan mengendalikan. Gagasan Fayol itu kemudian mulai digunakan sebagai kerangka kerja buku ajar ilmu manajemen pada pertengahan tahun 1950, dan terus berlangsung hingga sekarang.

Sumbangan penting lainnya datang dari ahli sosilogi Jerman Max Weber. Weber menggambarkan suatu tipe ideal organisasi yang disebut sebagai birokrasi—bentuk organisasi yang dicirikan oleh pembagian kerja, hierarki yang didefinisikan dengan jelas, peraturan dan ketetapan yang rinci, dan sejumlah hubungan yang impersonal. Namun, Weber menyadari bahwa bentuk “birokrasi yang ideal” itu tidak ada dalam realita. Dia menggambarkan tipe organisasi tersebut dengan maksud menjadikannya sebagai landasan untuk berteori tentang bagaimana pekerjaan dapat dilakukan dalam kelompok besar. Teorinya tersebut menjadi contoh desain struktural bagi banyak organisasi besar sekarang ini.[3]

Perkembangan selanjutnya terjadi pada tahun 1940-an ketika Patrick Blackett melahirlkan ilmu riset operasi, yang merupakan kombinasi dari teori statistika dengan teori mikroekonomi. Riset operasi, sering dikenal dengan “Sains Manajemen”, mencoba pendekatan sains untuk menyelesaikan masalah dalam manajemen, khususnya di bidang logistik dan operasi. Pada tahun 1946, Peter F. Drucker—sering disebut sebagai Bapak Ilmu Manajemen—menerbitkan salah satu buku paling awal tentang manajemen terapan: “Konsep Korporasi” (Concept of the Corporation). Buku ini muncul atas ide Alfred Sloan (chairman dari General Motors) yang menugaskan penelitian tentang organisasi.

12 June 2008

Perlu Manajemen Strategis

Dakwah di Era Global
Dakwah di era global selalu berhadap dengan politik luar negeri negara-negara besar dan maju yang cenderung mendominasi negara-negara kecil dan terbelakang. Konstelasi ini meniscayakan perubahan manajemen dakwah agar dakwah tidak hanya dipahami sebagai “orasi di atas mimbar”, tetapi juga semua aktivitas yang mengarah pada kemaslahatan dan kemakmuran umat manusia. Ketika Islam dan Barat tengah mengalami gangguan hubungan, kemasan dakwah yang dialogis dan universal menjadi kebutuhan yang relevan dan signifikan. Bagaimana manajemen strategis dakwah di era modern? Berikut perbincangan Reporter CMM dengan Dr. Ibnu Hamad, pakar komunikasi dan dosen Universitas Indonesia:
Bagaimana agar tema-tema khutbah para dai sesuai dengan masalah sosial kemasyarakatan?
Kita harus memahami konsep dai. Dai hendaknya tidak dipandang orang perorangan, tapi dalam sebuah manajeman organisasi yang baik. Di dalamnya bergabung orang-orang yang menguasai atau ahli dalam pelbagai disiplin ilmu. Jadi, dakwah utama sekarang tidak harus menjadi penceramah ulung di depan publik, tapi bagaimana memberdayakan masyarakat (society enpowerment) yang harus ditopang dengan teknologi rekayasa sosial (social engineering) dan dibantu oleh rekaya teknologi (technology engineering) yang baik. Dakwah kita maknai dengan usaha-usaha membangun peradaban umat. Petani yang bercocok tanam dengan baik dalam rangka beribadah kepada Allah termasuk juga dakwah. Kita seringkali memahami dai hanyalah orang yang mampu beretorika dengan baik di depan publik.

Jadi, setiap orang bisa menjadi dai dengan profesi masing-masing. Barangkali ini yang perlu dipahami oleh umat Islam, begitu?
Benar, tapi kita harus memperbaiki manajemen dakwah dengan memakai konsep manajemen komunikasi strategis atau dalam istilah lain manajemen dakwah strategis. Maksudnya, visi dan misi ajaran Islam diturunkan dalam level operasional, kemudian direncanakan dalam program kerja sehari-hari.

Bisakah Anda memberi contoh?
Contoh organisasi yang menerapkan konsep seperti ini adalah Muhammadiyah. Mereka punya visi dan misi yang diterjemahkan ke dalam bentuk sebuah program ekonomi ataupun pendidikan. Muhammadiyah telah berdakwah, tapi tidak dalam arti berpidato di depan publik.

Menurut Anda, pa makna kehadiran CMM bagi geliat dakwah di era global?
Menurut saya, CMM hadir sebagai wahana kita bersama memahami Islam dengan lebih komprehensif, tidak “kanan” dan tidak “kiri”. Dalam arti menciptakan suasana keislaman yang rasional bagi semua kalangan, termasuk umat Islam dan umat di luar Islam.

Bagaimana belajar agama yang efektif di tengah keberagaman pendapat tentang ajaran Islam?
Mengenai banyaknya ragam pendapat tentang ajaran Islam, saya cuma ingin menyatakan pendapat orang dahulu di pesantren, “Kalau mengaji tidak ada gurunya, sama halnya mengaji pada setan.” Artinya, dalam memahami Islam harus mempunyai guru. Islam mengajarkan tentang urusan dunia dan akhirat, berarti kita harus mempunyai guru yang mumpuni dalam kedua hal ini.

Bagaimana jika seseorang tidak bertemu dengan guru yang tepat?
Kita harus mencari guru yang baik. Saat ini alat-alat komunikasi semakin canggih yang memungkinkan seseorang mendapatkan guru yang baik tanpa harus tatap muka dengannya. Jika ia bertemu dengan guru yang menyesatkan, harusnya yang bersangkutan cross check dengan sumber-sumber lain sehingga bisa mengetahui kebenaran dari suatu pernyataan. Jangan taklid buta, tapi harus kritis.

Manusia menjadi tidak tidak berharga ketika mempunyai sifat sombong, misalnya. Menurut Anda, bagaimana mengatasinya?
Spirit dari kaum muslim yang Anda katakan adalah terlena dengan kebesaran Islam dan congkak. Ini adalah penyakit hati dan Islam melarang hal ini. Islam mengajarkan umatnya untuk rendah hati dan bersemangat dalam hidup. Kesempurnaan Islam bukan hanya keyakinan belaka, tapi harus dibuktikan sehingga tidak terjebak dari label yang kita agung-agungkan, padahal kita kecil.

Islam dan Barat kini berada dalam posisi berhadapan. Bagaimana mengatasinya?
Posisi Islam dan Barat seharusnya tidak bermusuhan tapi harus menjadi partner. Penyebab hal ini, kedua belah pihak mempunyai provokator yang selalu membuat kedua belah pihak sepertinya selalu berhadap-hadapan. Misalnya di Barat, ada sarjana yang melakukan analisa atau penelitian secara ilmiah, tapi tiba-tiba mengeluarkan suatu dogma ilmiah seperti konsep “clash of civilitization” dari Samuel P. Huntington.

Awalnya, apa yang dilakukan oleh Huntington adalah ilmiah tapi lama kelamaan berubah menjadi dogma ilmiah. Tesis Huntington menempatkan Islam dan peradaban di luar Barat, seperti Konghucu dan China, sebagai musuh peradaban Barat. Ini sangat disayangkan. Semestinya tesis Huntington dilanjutkan dengan kata, “meskipun peradaban berbeda-beda mestinya harus menjadi partner.” Tapi sayang kesimpulan dari tesis Huntington menyatakan akan terjadi suatu benturan besar

Sponsor By



Sarana berbagi informasi dunia kerja dan usaha